Sabtu, 18 Juni 2016

Analisis Pembatalan Perda Oleh Presiden Menurut Perpektif Hukum Tata Negara



Jagat hukum Indonesia dikisruhkan lagi oleh berita pembatalan atas tidak kurang dari 3.143 peraturan daerah (perda) oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri).

Pasalnya, bisakah Mendagri melakukan pembatalan secara sepihak terhadap perda? Bukankah menurut konstitusi pengujian legalitas dan pembatalan perda yang telah berlaku secara sah itu hanya bisa dilakukan oleh Mahkamah Agung (MA)? Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) merupakan kementerian besar yang pasti mempunyai biro hukum yang kuat untuk memagari Mendagri agar tidak sampai membuat kebijakan yang bertentangan dengan hukum.

Pencabutan 3.143 perda itu tentu sudah dipelajari secara saksama dan diyakini oleh tim hukum Kemendagri sebagai langkah yang tidak melanggar hukum. Betulkah? Kalau kita melihat masalah itu dari rezim hukum pemerintahan daerah, Mendagri memang mempunyai kewenangan untuk membatalkan perda sesuai dengan ketentuan Pasal 251 UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Tapi jika dilihat dari rezim hukum perundang-undangan, dasar hukum yang dipergunakan Mendagri untuk melakukan pembatalan itu adalah salah secara hukum. Tepatnya isi UU No 23 Tahun 2014 itu bertentangan dengan UU lain, yakni UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- undangan yang bersumber langsung dari UUD Negara Republik Indonesia (NRI) 1945.

Menurut Pasal 24A UUD NRI 1945, pengujian legalitas peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap UU atau peraturan perundangundangan yang lebih tinggi dilakukan oleh MA. Adapun pengujian konstitusionalitas UU terhadap UUD dilakukan Mahkamah Konstitusi (MK).

Ketentuan yang demikian sudah dituangkan dengan tepat di dalam Pasal 9 UU No 12 Tahun 2011 yang menyatakan dugaan pertentangan UU dengan UUD diperiksa dan diputus MK, sedangkan dugaan pelanggaran peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi diperiksa dan diputus oleh MA.

Dengan demikian lembaga eksekutif, Presiden atau kementerian, sebenarnya tidak bisa melakukan pembatalan terhadap perda secara sepihak dengan alasan apa pun. Pembatalan atau pencabutan perda harus dilakukan menurut rezim hukum perundang-undangan ini. Pertanyaan yang kemudian muncul, bagaimana posisi UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemda yang, melalui Pasal 251, memberi kewenangan kepada Mendagri untuk mencabut perda?

Jawabannya simpel saja. Yang lebih kuat untuk diikuti adalah ketentuan UU No 12 Tahun 2011 yang menentukan, pengujian legalitas atas perda hanya bisa dilakukan oleh MA melalui perkara judicial review. UU No 12 Tahun 2011 ini lebih kuat karena ia merupakan derivasi langsung dari ketentuan Pasal 24A UUD NRI 1945.

Seharusnya pembentuk UU No 23 Tahun 2014 tunduk pada ketentuan konstitusi bahwa pembatalan atau pencabutan perda karena bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang lebih tinggi hanya bisa dilakukan melalui judicial review oleh MA, bukan oleh menteri atau gubernur. Pembentuk UU tidak boleh mencampur aduk antara kewenangan yudikatif dan pengawasan administratif.

UU Pemerintahan Daerah yang sebelumnya, yakni UU No 32 Tahun 2004, telah mengatur masalah tersebut dengan cukup baik meskipun tidak juga sepenuhnya tepat. Menurut Pasal 145UUNo 32Tahun2004, setiap perda yang sudah diberlakukan harus disampaikan kepada pemerintah (pusat) paling lama 7 hari sejak ditetapkan oleh legislator daerah.

Dalam waktu 60 hari sejak disampaikan oleh legislator daerah, pemerintah pusat bisa membatalkannya. Jika dalam kurun waktu tersebut perda tidak dibatalkan oleh pemerintah pusat, maka ia menjadi berlaku sepenuhnya. Ketentuan yang diatur di dalam UU No 32 Tahun 2004 itu dapat dinilai lebih baik karena lebih memberi kepastian hukum terhadap perda.

Sebaliknya ketentuan berdasar UU No 23 Tahun 20014 yang tidak memberi batasan waktu, kapan paling lama pemerintah pusat atau jenjang pemerintahan yang lebih tinggi dibolehkan membatalkan perda, dapat menimbulkan ketidakpastian hukum.

Pembatalan itu bisa dilakukan kapan saja sewaktu-waktu pusat mau melakukannya, termasuk karena ada insiden yang sebenarnya lebih merupakan soal teknis pemerintahan. Maka itu sangatlah tepat apabila pembatalan perda yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tetaplah hanya dilakukan oleh lembaga yudisial melalui judicial review di MA.

Jika diperlukan pencabutan perda di luar judicial review, ada jalan lain yang bukan tindakan sepihak Mendagri, yakni mekanisme legislative review. Artinya pembatalan itu dilakukan oleh legislator daerah melalui proses legislasi oleh kepala daerah dan DPRD dengan mencabut atau menggantinya dengan perda baru yang setara.

Prosedur yang demikian sama dengan prosedur executive review terhadap peraturan perundang- undangan yang dibuat oleh pemerintah seperti peraturan pemerintah, perpres, peraturan kepala daerah yang semuanya bisa dicabut sendiri oleh lembaga yang membuatnya.

Dengan demikian untuk mencabut perda yang sudah berlaku secara sah hanya tersedia dua pintu, yaitu judicial review di MA dan legislative review di pemerintahan daerah sendiri, tidak boleh dilakukan secara sepihak oleh pemerintah yang di atasnya. Penegakan negara hukum menuntut kecermatan dan kesabaran.

Kalau misalnya dengan niat baik pemerintah yang sekarang melakukan pembatalan atas perda secara sepihak tanpa melalui judicial review atau legislative review, bisa jadi suatu saat pemerintah yang akan datang melakukan juga pembatalan perda secara sepihak bukan dengan niat baik, melainkan dengan cara sewenang- wenang. Alasannya, pemerintah sebelumnya melakukan hal itu. Kalau itu yang terjadi, rusaklah negara hukum kita.**

Sumber : Koran Sindo (Online) edisi 18/6/2016 judul asli "Kisruh Hukum Pembatalan Perda" oleh Prof Mahfud MD.

Senin, 04 Januari 2016

ETIKA PROFESI HUKUM


Oleh : 
                                     FAHRI ERLANGA (NPM. 3012210147)



BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang Masalah
     Indonesia merupakan negara hukum, hal tersebut telah tegas tercantum dalam Pasal 1 Ayat 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD RI 1945). UUD 1945 merupakan dasar terhadap apapun dalam konstitusi di Indonesia. Dasar yang kuat dan kokoh ini terdokumentasi pada kalimat-kalimat terakhir di alinea keempat pembukaan UUD 1945 yang kita kenal dengan sebutan Pancasila.[1] Dengan demikian maka Pancasila adalah dasar Negara sekaligus ideologi nasional dan falsafah pandangan hidup bangsa.
     Nilai-nilai ajaran yang terkandung di dalam Pancasila pada esensinya adalah nilai-nilai budaya, nilai-nilai adat, dan nilai-nilai religiusitas yang sudah lama hidup dan berkembang sangat jauh hari sebelum Indonesia merdeka.[2] Sesuatu dikatakan mempunyai nilai apabila dapat bermanfaat menurut manusia yang memberikan penilaiannya. Jadi nilai tidak lain sebenarnya adalah kualitas dari sesuatu.
     Nilai-nilai Pancasila selanjutnya dijabarkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan, ketetapan, keputusan, dan peraturan-peraturan lain pada hakikatnya merupakan nilai instrumental sebagai penjabaran dari nilai-nilai dasar Pancasila.
     Manusia sebagai makhluk budaya selalu melakukan penilaian terhadap keadaan yang dialaminya. Menilai berarti memberi pertimbangan untuk menentukan sesuatu itu benar atau salah, baik atau buruk, indah atau jelek, berguna atau tidak. Hasil penilaian itu disebut nilai, yaitu sesuatu yang benar, yang baik, yang indah, yang berguna.[3]
     Menilai berarti menimbang-nimbang dan membandingkan sesuatu dengan yang lainnya untuk kemudian mengambil sikap atau keputusan. Hasil pertimbangan dan perbandingan itulah yang disebut nilai. Karena ada unsur pertimbangan dan perbandingan, berarti sesugguhnya obyek yang diberi penilaian tersebut tidak tunggal. Artinya, suatu obyek baru dikatakan bernilai tertentu apabila ada obyek serupa sebagai pembandingnya.[4]
     Idealnya setiap orang dan setiap masyarakat mempunyai sistem nilai tunggal. Artinya, hanya ada satu sistem nilai yang dianut oleh tiap individu dan tiap masyarakat. Secara populer, orang atau masyarakat yang menganut lebih dari satu sistem nilai ini disebut orang atau masyarakat yang berstandar nilai ganda (double standard). Standar nilai ganda ini cenderung menghasilkan sikap dan perilaku yang diskriminatif.[5] Agar sistem nilai yang ada pada orang dan masyarakat itu dapat diangkat ke permukaan, sehingga tidak menghasilkan sikap dan perilaku diskriminatif, perlu ada wujud nilai yang lebih kongkret.
     Kita semua hidup dalam jaringan keberlakuan hukum dalam berbagai bentuk formalitasnya. Semua berjalan sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Namun, yang namanya manusia dalam menjalani kehidupannya tidak lepas dari kecenderungan menyimpang atau menyeleweng.[6]
     Setiap kelompok profesi memiliki norma-norma yang menjadi penuntun perilaku anggotanya dalam melaksanakan tugas profesi. Norma-norma tersebut dirumuskan dalam bentuk tertulis yang disebut kode etik profesi. Kode etik profesi hukum merupakan bentuk realisasi etika profesi hukum yang wajib ditaati oleh setiap professional hukum yang bersangkutan.

B.       Pokok Permasalahan
1.    Bagaimana penerapan nilai keTuhanan, nilai kemanusiaan, dan nilai kemasyarakatan pada etika profesi hukum?
2.    Apakah akibat dari tidak diterapkannya nilai keTuhanan, nilai kemanusiaan, dan nilai kemasyarakatan pada etika profesi hukum?

C.      Kerangka Teoritis
1.    Etika
Dalam bahasa Yunani ethos yang mempunyai arti adat istiadat atau kebiasaan yang baik. Etika merupakan kebiasaan manusia berdasarkan kesepakatan, menurut ruang dan waktu yang berbeda, yang menggambarkan perangai manusia dalam kehidupan pada umumnya.[7]
2.    Moral
Nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya.[8]
3.    Nilai KeTuhanan
Nilai KeTuhanan mengandung arti adanya pengakuan dan keyakinan bangsa terhadap adanya Tuhan sebagai pencipta alam semesta.[9]
4.    Nilai Kemanusiaan
Nilai kemanusiaan mengandung arti kesadaran sikap dan perilaku sesuai dengan nilai-nilai moral dalam hidup bersama atas dasar tuntutan hati nurani dengan memperlakukan sesuatu hal sebagaimana mestinya.[10]
5.    Nilai Kemasyarakatan
Nilai kemasyarakatan mengandung arti bersatu dalam kedaulatan rakyat untuk membina rasa nasionalisme dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.[11]


BAB II
PEMBAHASAN

1.        Penerapan Nilai KeTuhanan, Nilai Kemanusiaan, dan Nilai Kemasyarakatan Pada Etika Profesi Hukum

Profesi hukum merupakan salah satu profesi yang menuntut pemenuhan nilai moral dari pengembannya. Nilai moral itu merupakan kekuatan yang mengarahkan dan mendasari perbuatan luhur. Setiap profesional hukum dituntut supaya memiliki nilai moral yang kuat.[12] Oleh karena itu diperlukan nilai-nilai yang terkandung didalam Pancasila untuk diterapkan didalam Etika Profesi Hukum.
Nilai yang dianut seseorang atau suatu masyarakat mempunyai beberapa karakteristik:[13]
1.    Nilai merupakan hasil dari suatu proses interaksi manusia dalam kehidupannya;
2.    Nilai selalu berkaitan dengan kepentingan dari yang bersangkutan. Nilai dengan demikian merupakan respons yang dibuat seseorang atau suatu masyarakat dengan bertitik tolak dari kepentingannya masing-masing;
3.    Nilai yang diyakini tersebut tidak selalu berada dalam tataran yang sama. Nilai memiliki hierarki, ada nilai yang tertanam dalam pribadi seseorang tetapi ada pula yang tidak begitu dalam diyakini;
4.    Nilai-nilai yang ada dalam sistem nilai itu tidak selamanya sejalan. Dalam situasi tertentu seseorang atau suatu masyarakat berhadapan dengan dua nilai yang bertolak belakang yang sama-sama dianutnya.
Nilai-nilai yang terkandung didalam Pancasila memiliki nilai historis yang cukup dalam, sehingga diperlukan adanya penghayatan dalam menerapkannya di suatu etika profesi hukum agar seseorang yang mengemban profesi hukum dapat menjalankan profesinya dengan baik dan benar. Nilai-nilai yang akan dibahas selanjutnya, yaitu:
a.     Nilai KeTuhanan
Dalam nilai ini memiliki makna yang sangat dalam, oleh karena itu di dalam Pancasila terdapat pada sila pertama yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa. Nilai ini diterapkan pada etika profesi hukum berupa penghayatan terhadap adanya agama dan Tuhan di Indonesia yang nantinya sebagai pedoman seseorang yang berprofesi hukum dalam bersikap tindak.
Manusia yang beriman kepada Tuhan percaya bahwa manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna, maka sudah sewajarnya agama menjadi moralitas.[14] Moral memperoleh daya ikat dari agama agar kewajiban moral sungguh-sungguh mengikat, maka perlu dipercaya ganjaran Tuhan atas perbuatan yang baik, dan hukuman atas perbuatan yang buruk. Dengan adanya hal seperti itu seseorang yang berprofesi hukum akan menjalankan profesinya dengan amanah, karena tanggung jawab atas profesinya langsung kepada Tuhan.
Sebagai contoh dari profesi hukum yaitu hakim, seorang hakim dalam hal mengambil keputusannya untuk melakukan penuntutan kepada terdakwa perlu melihat banyak aspek. Aspek yang dilihat oleh hakim harus menjadikannya sebagai pertimbangan dalam melakukan penuntutan. Dalam hal ini hakim harus berkeyakinan bahwa tuntutannya dapat adil bagi seluruh pihak, hakim juga harus bertanggung jawab atas putusannya karena profesi hakim merupakan profesi yang agung dan langsung bertanggung jawab pada Tuhan.
b.    Nilai Kemanusiaan
Dalam nilai ini memiliki makna yang tercantum pada sila kedua Pancasila yaitu Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. Pada profesi hukum nilai ini sangat penting, karena sebagai pedoman seseorang itu dalam pengambilan keputusan dan menjalankan profesinya dengan baik dan benar. Nilai kemanusiaan dalam profesi hukum memiliki arti yaitu adanya sisi kemanusiaan yang harus dimiliki oleh orang yang berprofesi hukum yang nantinya akan menimbulkan rasa keadilan yang dimiliki oleh seseorang tersebut.
c.    Nilai Kemasyarakatan
Dalam nilai ini memiliki makna yang tercantum pada sila ketiga Pancasila yaitu Persatuan Indonesia. Pada profesi hukum nilai ini memiliki makna bahwa seseorang yang berprofesi hukum perlu memiliki nilai ini untuk menjamin adanya nilai yang lahir di dalam masyarakat yang selalu berkembang dan mengikuti zaman.


2.        Akibat Dari Tidak Diterapkannya Nilai KeTuhanan, Nilai Kemanusiaan, dan Nilai Kemasyarakatan Pada Etika Profesi Hukum

     Setiap suatu perbuatan yang tidak mengindahkan suatu hal yang penting perlu dilakukan sudah pasti hasilnya tidak akan maksimal, begitu pun juga sama hal nya dengan etika dalam profesi hukum. Ketika suatu etika dalam profesi hukum tidak mengindahkan yang namanya nilai keTuhanan, nilai kemanusiaan, dan nilai kemasyarakatan sudah pasti hasilnya tidak akan sesuai dengan yang diharapkan.
     Sudah disinggung dalam analisis permasalahan sebelumnya, bahwa setiap nilai diatas memiliki makna yang cukup dalam, oleh karena itu jika ketiga nilai itu tidak diterapkan oleh seseorang yang berprofesi hukum akan menimbulkan akibat yang cukup fatal. Akibat yang ditimbulkan dari tidak diterapkannya ketiga nilai tersebut akan membawa dampak yang cukup jelas pada seseorang yang berprofesi hukum tersebut maupun kepada orang banyak.
-       Pada seseorang yang berprofesi hukum tersebut akibat yang ditimbulkannya akan tidak sesuainya etika yang dilakukan oleh seseorang tersebut berdasarkan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Seseorang tersebut akan menggunakan profesinya dengan leluasa tanpa melihat nilai keTuhanan yaitu dari segi agama seseorang tersebut yang mengajarkan adanya berkelakuan baik dan jujur yang tanggung jawabnya nanti langsung kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dalam nilai kemanusiaan, seseorang tersebut apabila tidak menerapkannya pada profesi yang dijalankannya akan menghasilkan ketidakadilan dalam segi kemanusiaan yang nantinya akan menimbulkan kerugian yang banyak pada seseorang yang berprofesi hukum tersebut karena sudah dinilai tidak pantas lagi. Dalam segi nilai kemasyarakatan, seseorang yang berprofesi hukum tidak menerapkan dalam profesinya akan berakibat seseorang itu tidak melihat keadaan yang berkembang dalam masyarakat yang selalu berubah mengikuti perkembangan zaman.
-       Pada seseorang yang merasa dirugikan akan menimbulkan akibat yang cukup fatal, dari ketiga nilai itu menimbulkan dampak yang terus menerus yang nantinya orang yang merasa dirugikan itu akan menilai bahwa seseorang yang berprofesi hukum itu tidak menjalankan profesinya dengan benar. Orang yang menilai itu akan melihat bahwa orang yang berprofesi hukum itu hanya menjalankan profesinya dengan berorientasi pada uang.

Setiap pihak yang berprofesi hukum jika tidak menjalankan nilai-nilai tersebut diatas, maka dapat timbul akibat yang disebabkan oleh seseorang itu yang tidak menjalankan nilai-nilai yang sudah ada. Dalam menjalankan tugasnya, professional hukum wajib bertanggung jawab, artinya:[15]
a.    Kesediaan melakukan dengan sebaik mungkin tugas apa saja yang termasuk lingkup profesinya;
b.    Bertindak secara proporsional, tanpa membedakan perkara bayaran dan perkara cuma-cuma (prodeo);
c.    Kesediaan memberikan laporan pertanggungjawaban atas pelaksanaan kewajibannya.
Jika ketiga poin diatas mengenai tanggung jawab profesi tidak dijalankan, maka sudah dapat dipastikan bahwa seseorang yang berprofesi hukum tersebut tidak menerapkan ketiga nilai yang sudah dijelaskan sebelumnya.

  

BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
Setelah sebelumnya dalam permasalahan diatas dilakukan pembahasan, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa:
1.    Dalam penerapan nilai-nilai yang sudah disebutkan diatas pada etika profesi hukum memiliki pern-perannya tersendiri. Pada nilai KeTuhanan, nilai ini memiliki makna yang cukup dalam karena merupakan nilai yang berorientasi pada Tuhan Yang Maha Esa. Nilai ini juga mengandung arti bahwa seseorang dalam melakukan perbuatannya khususnya dalam berprofesi di bidang hukum langsung bertanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa. Nilai ini memiliki arti bahwa dalam ajaran agama seseorang itu mengajarkan harus memiliki etika dan moral yang baik yang harus bermanfaat bagi orang banyak.
Pada nilai kemanusiaan, nilai ini memiliki makna bahwa seseorang yang berprofesi hukum wajib berlaku adil dan memandang seseorang itu sama tanpa membeda-bedakannya. Nilai ini dapat diterapkan pada etika profesi hakim, dalam memutuskan suatu perkara seorang hakim wajib melihat beberapa pertimbangan khususnya mengenai kemanusiaan. Seorang hakim tersebut harus melihat bagaimana latar belakang seseorang tersebut guna pertimbangan dalam melakukan pemutusan perkara, hakim tersebut harus adil dan tidak melihat apakah orang itu kaya atau miskin.
Pada nilai kemasyarakatan, nilai ini memiliki makna bahwa dalam masyarakat memiliki ciri khasnya yang berbeda. Dalam suatu etika profesi hukum nilai ini memiliki arti bahwa dalam melakukan profesinya seseorang harus melihat keadaan yang ada di dalam masyarakat yang selalu berkembang mengikuti zaman. Dalam nilai ini keadaan masyarakat menjadi penting karena merupakan subjek dalam suatu etika profesi hukum.
Jadi pada nilai-nilai tersebut dapat diterapkan dalam suatu etika profesi hukum yang nantinya merupakan suatu fundamental dalam etika yang dilakukan oleh seseorang yang berprofesi hukum.
2.    Jika nilai-nilai tersebut tidak diterapkan pada suatu etika profesi hukum, maka akan timbul akibatnya. Akibat yang terjadi apabila ketiga nilai tersebut tidak diterapkan yaitu:
-       Nilai KeTuhanan, jika nilai ini tidak diterapkan maka akibat yang terjadi yaitu seseorang yang berprofesi hukum itu akan buta arah dalam melakukan profesinya. Hal ini terjadi karena seseorang itu tidak melihat bahwa suatu perbuatannya atau etika dan moral yang dilakukannya langsung tanggung jawabnya kepada Tuhan Yang Maha Esa.
-       Nilai Kemanusiaan, jika nilai ini tidak diterapkan maka seseorang yang berprofesi hukum akan melakukan perbuatannya dengan tidak adil kepada seseorang. Sudah disinggung sebelumnya bahwa nilai ini memiliki arti bahwa seseorang yang berprofesi hukum harus memiliki rasa kemanusiaan yang nantinya sebagai dasar dalam pengambilan keputusan.
-       Nilai Kemasyarakatan, jika nilai ini tidak diterapkan maka seseorang yang berprofesi hukum tidak akan tau apa yang yang berkembang dalam masyarakat yang nantinya akan menimbulkan kekeliruan seseorang itu dalam menjalankan profesinya.




[1] Yurnal, Implementasi Nilai-Nilai Pancasila Peluang dan Kendala Implementasi Dalam Rangka Ketahanan Nasional, (Jakarta: Alfath, 2013), hlm. 1.
[2] Ibid.
[3] Abdulkadir Muhammad, Etika Profesi Hukum, (Jakarta: Citra Aditya Bakti, 2006), hlm. 8.
[4] Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Penjabaran Nilai-Nilai Pancasila Dalam Sistem Hukum Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), hlm. 2-3.
[5] Ibid, hlm. 29.
[6] Abdulkadir Muhammad, Op.Cit., hlm. 66.
[7] Ibid, hlm. 14.
[8] Ibid, hlm. 17.
[9] http://uzey.blogspot.com/2009/09/pancasila-sebagai-sumber-nilai.html?m=1
[10] Ibid.
[11] Ibid.
[12] Abdulkadir Muhammad, Op.Cit., hlm. 62.
[13] Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Op.Cit., hlm. 19-20.
[14] Ibid, hlm. 24.
[15]Ibid, hlm. 63.

Sabtu, 14 November 2015

Tata Cara Memperoleh Wilayah Negara



          Menurut hukum internasional cara penambahan wilayah yang dibenarkan adalah dengan cara damai tanpa kekerasan. Piagam PBB Pasal 2 ayat 4 dengan jelas menyatakan larangan untuk menambah wilayah dengan kekerasan. Berikut bunyi pasal tersebut : Dalam melaksanakan hubungan internasional, semua anggota harus mencegah tindakan-tindakan yang berupa ancaman atau kekerasan terhadap kedaulatan atau kemerdekaan politik Negara lain.

Cara memperoleh yang dibenarkan menurut hukum internasional, yaitu okupasi, akkresi, prespeksi, cessi. Sedangkan aneksasi atau penaklukan (penggabungan suatu wilayah lain dengan kekerasan atau paksaan kedalam wilayah negara yang menganaksasi) tidak dibernarkan.

Penambahan dengan cara-cara akresi, cessi, okupasi, preskripsi, dan perolehan wilayah secara paksa yang biasanya berupa aneksasi, saat ini masih mungkin terjadi dan masih berlangsung. Cara tersebut (dalam teori hukum internasional) masih relevan apabila, pada kenyataannya masih ada fenomena tersebut. Cara-cara tersebut masih digunakan oleh negara-negara untuk menambah wilayah. Namun pada masa sekarang tidak semua cara masih digunakan.

Cara yang paling sering muncul saat ini untuk menambah wilayah yaitu dengan cara aneksasi dan referendum. Misalnya, aneksasi yang dilakukan Israel terhadap wilayah Palestina. Menurut hukum internasional cara tersebut tidak dibenarkan, karena ada larangan untuk menambah wilayah dengan kekerasan (Pasal 2 ayat 4 Piagam PPB). Selain itu, dengan cara referendum seperti di Timor Timur 1999, Sudan Selatan 2011.

Wilayah merupakan bagian dari kedaulatan dari suatu negara. Maka dari itu negara melindungi wilayah kekuasaan. Wilayah juga meruoakan sumber konflik internasional (antar negara). Banyak negara ingin menambah wilayahnnya, hukum internasional membatasi keinginan itu. Dalam memperoleh atau menambah wilyah sering terjadi konflik antar negara. Sengketa-sengketa juga dapat diselesaikan melalui konsialiasi dan dalam beberapa hal tertentu wajib menggunakan penyelesaian melalui konsialiasi. Berikut contoh penambahan wilayah yang masih terjadi masa sekarang :

1.    Okupasi atau Pendudukan (occupation) - Sengketa Pulau Falkland oleh Inggris dan Argentina
Otoritas eksekutif Falkland berada di bawah wewengan Ratu dan menjadi mandat gubernur. Kekalahan Argentina dalam perebutan Falkland mengakibatkan runtuhnya kekuasaan diktator militer Argentina pada 1983. Pertentangan mengenai kontrol kepulauan tersebut masih berlangsung hingga kini.

Sejak abad ke 18, Argentina dan Inggris telah bersitegang soal siapa yang memiliki pulau Falkland. Pada tahun 1982, pecang perang kedua negara memperebutkan pulau ini. Lebih dari 600 tentara Argentina dan 200 tentara Inggris tewas dalam pertempuran tersebut. Status pulau Falkland sendiri di PBB dianggap sebagai wilayah tak bertuan.

Konflik tesebut saat ini mulai memanas kembali. Dilansir dari Daily Mail, Rabu 1 Februari 2012, Angkatan Laut Inggris akan menurunkan kapal penghancur tipe 45 HMS Dauntless selama tujuh bulan di perairan sekitar Falkland, atau yang oleh Argentina disebut pulau Malvinas. Penurunan kapal perang ini juga untuk mengamankan wilayah tersebut menjelang perayaan pembebasan Falkland oleh Inggris dari Argentina 30 tahun silam.

2.    Akkresi (accretion) – melalui Pergerakan Sungai
Contoh cara penambahan wilayah secara alamiah yang mungkin timbul karena pergerakan sungai atau lainnya (misalnya tumpukan pasir karena tiupan angin), terdapat wilayah yang telah ada yang berada di bawah kedaulatan Negara yang memperoleh hak tersebut. Tindakan atau pernyataan formal tentang hak ini tidak diperlukan. Tidak penting untuk diketahui apakah proses penambahan wilayah itu terjadi secara bertahap atu tidak terlihat, seperti dalam kasus biasa endap-endapan lumpur atau tentang apakah penambahan itu disebabkan oleh sesuatu pemindahan tanah secara tiba-tiba atau mendadak, dengan ketentuan bahwa penambahan itu melekat dan bukan terjadi dalam satu peristiwa yang dapat diidentifikasiakan berasal dari loksi lain.

Apabila dikatakan bertahap atau tidak kelihatan setelah selang waktu yang cukup lama. Kaidah-kaidah hokum perdata Romawi mengenai pembagian pemilikan terhadap endapan-endapan lumpur pada aliran atau sungai-sungai diantara pemilik-pemilik yang bersebrangan secara analogi berlaku terhadap persoalan pembagian kedaulatan antara Negara-negara yang bersebrangan dimana endapan-endapan sama-sama timbul di sungai-sungai yang menjadi garis perbatasan mereka.

3.    Preskripsi (prescripton) - Pulau Palmas
Akibat perang Spanyol-Amerika Serikat tahun 1898, Spanyol menyerahkan Filipina kepada Amerika Serikat berdasarkan Treaty of Paris. Pada 1906 pejabat Amerika Serikat mengunjungi pulau Palmas (Miangas) yang diyakini Amerika Serikat sebagai wilayah yang diserahkan kepadanya, tetapi Amerika Serikat mendapatkan bendera Belanda berkibar di Pulau Palmas.

Amerika Serikat dan Belanda merasa memiliki hak kedaulatan terhadap Pulau Palmas. Dasar klaim Amerika Serikat adalah cessi, yang ditetapkan dalam Treaty of Paris. Cessi “mentransfer” semua hak kedaulatan yang dimiliki Spanyol terhadap Pulau Palmas. Sedangkan Belanda mendasarkan klaim kedaulatannya terhadap Pulau Palmas pada alas hak okkupasi yaitu melalui pelaksanaan kekuasaan negara secara damai serta terus menerus atas Pulau Palmas.

Alas Hak Okkupasi ditentukan oleh prinsip “effectiveness”, efektif berarti memenuhi dua syarat, yakni adanya kemauan untuk melakukan kedaulatan negara di wilayah yang diduduki dan adanya pelaksanaan kedaulatan negara yang memadai di wilayah itu. Sedangkan Alas Hak Cessi adalah tambahan kedaulatan wilayah melalui proses peralihan hak yang dapat berupa pemberian, tukar menukar atau paksa. Cessi dapat terjadi dengan sukarela atau dengan paksa. Alas hak yang diperoleh melalui cara okupasi oleh Belanda lebih kuat dibandingkan cara cessi yang dilakukan oleh Amerika Serikat maka dari itu Arbitror memutuskan bahwa Pulau Palmas seluruhnya merupakan bagian wilayah Belanda.

4.    Cessi atau Penyerahan (cession) – Pembelian Alaska
Pembelian Alaska oleh Amerika Serikat dari Kekaisaran Rusia tahun 1867. Pembelian ini menambah luas wilayah Amerika Serikat sebesar 586.412 mil persegi (1.518.800 km²). Rusia saat itu sedang berada dalam posisi finansial yang sulit dan takut kehilangan Alaska Rusia tanpa kompensasi (terutama terhadap Britania Raya, musuh mereka dalam Perang Krim). Tsar Alexander II memilih menjual Alaska. Rusia menawarkan Alaska pada Amerika Serikat tahun 1859. Namun, Perang Saudara Amerika meletus.

Setelah Perang Saudara Amerika berakhir, Tsar menginstruksikan menteri Rusia untuk Amerika Serikat Eduard de Stoeckl untuk bernegosiasi dengan Amerika Serikat. Negosiasi dimulai pada Maret 1867, dan Amerika setuju untuk membeli Alaska dengan harga $4.74/km2, total $7.200.000. Pembelian ini terbukti berguna bagi Amerika Serikat karena penemuan kandungan minyak bumi yang besar di Alaska.

Sesungguhnya penyerahan wilayah menyusul kekalahan dalam perang lebih lazim terjadi daripada aneksasi. Suatu penyerahan melalui traktat adalah batal apabila pembentukan traktat itu dihasilkan dari ancaman atau penggunaan kekerasan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum internasional. Negara yang menyerahkan tidak dapat mengurangi apa yang telah ia serahkan.

5.    Aneksasi atau Penaklukan (annexation) – Pendudukan Israel di Palestina
Pada tahun 1946Transyordania memperoleh kemerdekaan dari Mandat Britania atas Palestina. Agensi Yahudi untuk Israel mendeklarasikan berdirinya Negara Israel sesuai dengan rencana PBB yang diusulkan. Komite Tinggi Arab tidak mengumumkan keadaan sendiri dan sebaliknya, bersama dengan TransyordaniaMesir, dan anggota lain dari Liga Arab saat itu, mulai tahun 1948 Perang Arab-Israel. Selama perang, Israel memperoleh wilayah tambahan yang diharapkan menjadi bagian dari negara Arab di bawah rencana PBB. Mesir memperoleh kendali atas Gaza dan Transyordania mendapat kontrol atas West Bank.

Mesir awalnya mendukung terciptanya Pemerintahan Seluruh Palestina, tapi itu dibubarkan pada tahun 1959 dan Transyordania memasukkan Tepi Barat dalam membentuk Yordania. Aneksasi itu diratifikasi pada 1950. Perang Enam Hari 1967 berakhir dengan ekspansi teritorial signifikan oleh Israel. Ekspansi ini melibatkan seluruh Tepi Barat, yang tetap di bawah pendudukan Israel, dan Jalur Gaza yang diduduki sampai penarikan mundur Israel tahun 2005.

 Faktanya, Israel terus saja membangun permukiman Yahudi di Tepi Barat. Pembangunan permukiman Yahudi yang terus berlanjut di daerah pendudukan akan membuat pendudukan Israel atas wilayah Palestina menjadi permanen. Dalam laporan untuk Sidang Umum PBB itu, Falk mengatakan, sebegitu luasnya pembangunan permukiman Yahudi di Tepi Barat dan Jerusalem Timur sehingga membuat wilayah Palestina secara de facto telah dianeksasi Israel. Asumsi dasar resolusi DK PBB atas pendudukan wilayah Palestina oleh Israel tahun 1967 adalah sementara dan reversible.
Kesimpulannya, bukan hanya berdasar pada meluasnya pemukiman Yahudi di tempat pendudukan, melainkan juga pengusiran warga Palestina dari Jerusalem Timur dan penggusuran rumah-rumah mereka. PBB seharusnya mendukung sanksi ataupun boikot terhadap Israel dengan tuduhan melakukan pelanggaran hukum internasional.**