Rabu, 26 November 2014

HAK BURUH MIGRAN (TKI) DALAM RUMAH PENAMPUNGAN

HAK BURUH MIGRAN ATAS FASILITAS, PELATIHAN, DAN PENDIDIKAN DALAM TEMPAT PENAMPUNGAN SEBELUM PENEMPATAN DI LUAR NEGERI




Disusun oleh :

Rizky Adiansyah (3012210363)

Regina Fadjri Andira (3012210345)

Renny Savira S  (3012210346)

Reynita Larasati W (3012210349)

Vionny Cynthami (3012210418)

Yemima Mlanirta Deda (3012210442)

M Taufik Ashari (3012210)






Fakultas Hukum Universitas Pancasila
2014




A.    Pendahuluan
1.      Latar Belakang
Dalam makalah ini, fokus masalah yang melatarbelakangi kami sampaikan materi ini adalah tentang masalah TKI selama berada di balai pelatihan milik PJTKI. PJTKI memberikan pendidikan, pelatihan, dan fasilitas yang akan digunakan TKI bekerja di luar negeri. Namun pelatihan dan fasilitas yang diberikan banyak yang tidak sesuai dengan kebutuhan di tempat TKI bekerja. Hal ini dirasakan oleh sebagian TKI yang telah berada di negara tujuan. Mereka mengatakan bahwa materi dan pelatihan yang diberikan selama di balai pelatihan berbeda jauh dengan realitas yang ada.

Lalu masalah TKI di penampungan. Selama berada di penampungan, TKI harus menunggu masa tunggu yang lama. Mereka menunggu sekitar 6 bulan hingga 1 tahun tanpa kepastian berangkat dengan kondisi penampungan yang tidak layak. Pelecehan seksual dan  penyekapan seringkali terjadi di penampungan oleh pengelola PJTKI, serta tidak baiknya sistem administrasi yang diberikan calon TKI ke luar negeri.[1]

2.      Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang kami ajukan adalah sebagai berikut :
a.                   Apa saja yang menjadi hak dan kewajiban buruh migran / calon TKI sebelum penempatan diluar negeri;
b.                   Bagaimanakah Buruh migran seharusnya diperlakukan sesuai peraturan yang ada sehingga memberikan kepastian hukum dan;
c.                   Bagaimana peran pemerintah dalam mengawasi proses ketenagakerjaan khususnya dibidang buruh migran dari mulai perekrutan, pelatihan, pengiriman sampai purna penempatan.

B.    Pembahasan Materi
1.      Pengertian Buruh Migran
Dalam era globalisasi ini, daya serap tenaga kerja tidak hanya terjadi di dalam negeri, namun juga hingga keluar negeri. Tenaga kerja yang datang untuk mengisi lapangan kerja yang ada, tidak hanya berasal dari dalam negeri saja akan tetapi tidak sedikit pula diserap oleh tenaga kerja asing atau dikenal sebagai buruh migran. Pengertian pekerja migran didefinisikan dalam konvensi internasional 1990 tentang pekerja migran adalah seorang yang akan, tengah, dan telah melakukan pekerjaan yang dibayar dalam suatu negara, dimana dia bukan menjadi warga negara.[2]

Definisi buruh migran sangat luas meskipun lebih sering diartikan sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang bekerja di Luar Negeri. Arti umumnya adalah orang yang bermigrasi atau berpindah dari wilayah kelahiran atau lokasi tinggal yang bersifat tetap untuk keperluan bekerja. Guna keperluan bekerja tersebut, pekerja migran akan menetap di tempat bekerja tersebut dalam kurun waktu tertentu.

Terdapat dua tipe pekerja migran, yaitu pekerja migran internal dan pekerja migran internasional. Pekerja migran internal adalah pekerja yang bermigrasi dalam kawasan satu negara. Contoh yang paling sering dan mudah dipahami adalah urbanisasi dan transmigrasi.

Pekerja migran internasional itu adalah perseorangan yang bermigrasi ke luar negeri untuk keperluan bekerja. Dengan Definisi tersebut, maka pekerja di Kedutaan Indonesia di Negara Asing adalah buruh migran atau pekerja migran.[3]




2.      Pengaturan Penempatan Buruh Migran
Penempatan buruh indonesia ke luar negeri menjadi buruh migran merupakan program nasional dalam upaya peningkatan kesejahteraan buruh dan keluarganya serta pengembangan kualitas sumber daya manusia. Di dalam pasal 1 ayat (1) Kepmenaker No. 204 tahun 1999, menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan penempatan buruh migran indonesia ke luar negeri (Penempatan TKI) adalah kegiatan untuk mempertemukan ketersediaan TKI dengan permintaan pasar kerja di luar negeri. [4]

3.      Pelaksanaan Penempatan Buruh Migran
Pelaksanaan penempatan buruh migran di Indonesia, dapat dilakukan sendiri oleh pemerintah  maupun swasta melalui Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia atau disingkat PJTKI. Dalam pelaksanaannya PJTKI haruslah mengikuti prosedur dan peraturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah dalam hal ini adalah Departemen Tenaga Kerja melalui Keputusan Menteri Buruh No 104 tahun 2002 tentang aturan penempatan buruh indonesia ke luar negeri.[5]

Mungkin lebih banyak tendengar masalah – masalah buruh migran saat buruh migran tersebut berada diluar negeri, namun sebenarnya dalam proses pertama jauh sebelum penempatan, banyak pelangggaran hak – hak buruh migran yang dilakukan oleh PJTKI. Sebagai seorang buruh migran, ada kewajiban yang harus dipenuhi yaitu menyerahkan dokumen kepada PJTKI sebagai berikut,
1.      KTP, Ijazah pendidikan terakhir, akte kelahiran, atau surat keterangan lahir
2.      Surat tanda status perkawinan (foto copy buku nikah jika telah menikah)
3.      Surat keterangan izin suami, istri, orang tua atau wali
4.      Sertifikat kompetensi kerja
5.      Surat hasil pemeriksaan kesehatan
6.      Paspor
7.      Visa Kerja
8.      Perjanjian penempatan kerja dan Kartu Buruh Luar Negeri
Selanjutnya dalam Undang – Undang Nomor 39 tahun 2004, menyatakan bahwa perekrutan caon TKI oleh PJTKI harus memenuhi syarat sebagai berikut,
1.      Berusia sekurang – kurangnya 18 (Delapan Belas) Tahun kecuali bagi calon TKI yang akan dipekerjakan pada pengguna perseorangan sekurang – kurangnya 21 (dua puluh satu) tahun.
2.      Sehat Jasmani dan Rohani
3.      Tidak dalam keadaan hamil bagi calon buruh perempuan dan,
4.      Berpendidikan sekurang – kurangnya lulus sekolah lanjutan tingkat pertama atau sederajat.[6]

4.      Tempat Penampungan Buruh Migran dan Permasalahannya
Setelah kewajiban terpenuhi dan calon TKI atau buruh migran diterima, buruh migran akan ditempatkan di penampungan untuk mendapatkan pelatihan dan pendidikan sesuai bidang pekerjaan yang akan dijalani, keterampilan, motivasi diri, mempelajari bagaimana etos kerja yang baik dan terakhir mengikuti ujian kompetensi di Balai Latihan Kerja Luar Negeri. Untuk hal ini, dapat dikatakan tidak terjadi begitu banyak masalah karena semua terakomodasi dengan baik. Adapun selama dirumah penampungan, fasilitas lain yang menjadi hak buruh migran dan paling sering bermasalah adalah masalah fasilitas fisik. Berikut contoh kasus yang menjadi permasalahan dalam tempat penampungan buruh migran.
Contoh Kasus 1. Ratusan TKI Kabur Dari Rumah Pelatihan
liputan6.com, Bekasi: Azan maghrib bergema, Senin (29/3). Satu per satu dari 103 calon tenaga kerja Indonesia berhamburan dari Balai Latihan Kerja Yayasan Lembaga Pengembangan TKI di kawasan Bekasi, Jawa Barat. Mereka berhamburan sambil berteriak ada gempa bumi.
Mereka kabur dengan memecahkan kaca dan merusak pintu. Bahkan, ada tenaga kerja wanita yang menggigit tangan seorang satuan pengamanan bernama Cucu Fendi. Cucu juga sempat diberi bogem mentah dan dicakar.
Diduga para TKI kabur dari BLK mewah itu karena ada penyiksaan. Namun, kecurigaan ini dibantah oleh Direktur Yayasan LPTKI Azhar Laena. Dia mengatakan, tidak memperlakukan calon TKI dengan kasar. "Saya jamin itu tidak ada. Kalaupun ada, saya akan koreksi itu," tutur Azhar.
Selain itu beredar rumor, para calon TKI kabur karena khawatir dengan intervensi salah satu partai politik besar yang sempat bertandang ke yayasan pada akhir tahun silam. Namun ada juga yang mencium adanya intrik dalam persaingan antarlembaga pelatihan. Meski begitu, sejauh ini, belum bisa dipastikan penyebab kaburnya para TKI dari tempat penampungan.
Kasus yang sama juga terjadi di tempat penampungan calon TKI milik PT Amira Prima di Jalan Basoka Raya, Kebun Jeruk, Jakarta Barat, tahun silam [baca: Ratusan Calon TKI Kabur dari Asrama]. Karena itu, sekitar 100 calon TKI ini lari karena kerap diperlakukan tidak manusiawi oleh pengelola perusahaan jasa pengiriman TKI itu.(TNA/Satriana Nudi dan Agus Prijatnoe)[7]
Contoh Kasus 2. Gerbang Tak Dibuka, Menaker Teriak dan Lompat Pagar Saat Sidak Penampungan TKI
JAKARTA, KOMPAS.com — Situasi di Perusahaan Pengerah Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS) Elkari Makmur Sentosa yang terletak di Jalan Asem Baris Raya, Gang Z, Tebet, Jakarta Selatan, Rabu (5/11/2014) pagi, mendadak ramai. Saat itu, Menteri Tenaga Kerja Muhammad Hanif Dakhiri melakukan sidak.
Pantauan Kompas.com, lokasi penampungan berbentuk rumah itu terlihat tertutup rapat. Fiber panjang berwarna biru menutupi semua bagian pagar sehingga aktivitas para tenaga kerja di tempat penampungan itu tak dapat dilihat dari luar. Bahkan, di lokasi tersebut, tidak terdapat papan petunjuk tempat penampungan.
Saat tiba di lokasi, Hanif sempat meminta izin kepada ibu asrama untuk masuk dan meninjau lokasi. Namun, izin itu tak diberikan hingga akhirnya Hanif marah kepada pengurus tempat penampungan itu.
"Buka pintu pagarnya. Saya Hanif Dakhiri, Menteri Tenaga Kerja, mau sidak dan cek lokasi ini. Kalau tidak dibuka, saya tutup tempat penampungan ini," teriak Hanif.
Teriakan tersebut sontak membuat warga terkejut. Mereka yang awalnya hanya berada di dalam rumah lalu keluar dan mengerumuni lokasi penampungan.
Meski Hanif telah mengeluarkan bentakan, pintu pagar masih tetap tak kunjung dibuka. Pihak pengurus berdalih ingin meminta izin terlebih dahulu kepada pimpinan perusahaan. Hanif yang tak sabar lantas memerintahkan kepada ajudannya untuk membongkar fiber penghalang pagar itu.
Kemudian, Hanif berpijak di jok motor, lalu melompati pagar dan masuk ke dalam rumah.
Di dalam tempat penampungan tersebut, ada 43 calon TKI berkumpul di ruang tamu. Kondisi mereka cukup memprihatinkan. Sehari-hari, mereka melakukan aktivitas belajar, makan, dan tidur di tempat itu.
Bahkan, lokasi penampungan itu hanya menyediakan satu kamar mandi untuk dipakai beramai-ramai.
Tempat penampungan itu jauh dari standar yang ditetapkan oleh Kementerian Tenaga Kerja berdasarkan Permen 07 Tahun 2005 tentang Standaridsasi Penampungan TKI. Salah satu standar yang ditetapkan ialah satu orang mendapat satu kasur untuk tidur. Namun, yang terlihat justru satu kasur digunakan untuk beberapa orang.
"Ini tidak benar ini. Tidak sesuai dengan standar aturan," kata Hanif.
Menurut pengakuan para TKI, mereka rencananya akan disalurkan ke sejumlah negara tetangga, seperti Malaysia dan Singapura. Sebagian besar dari mereka berasal dari wilayah Cirebon, Jawa Barat. Mereka sudah berada di tempat penampungan itu selama satu bulan.
"Waktu datang ke sini saya bareng sama sekitar tujuh orang," ujar salah seorang calon TKI.[8]
Aturan tentang rumah penampungan sebagai Analisis Kasus
Tempat penampungan adalah salah satu titik yang rawan bagi calon TKI. Penampungan tidak hanya rawan menjadi tempat kekerasan, tetapi juga kerap  menjadi tempat segala persoalan TKI bermula. Umumnya, penampungan menjadi tempat penandatanganan kontrak TKI sehingga dengan posisi yang lemah TKI kerap tidak memiliki daya tawar kepada perusahaan pelaksana penempatan tenaga kerja Indonesia (PPTKIS).
Beberapa persoalan muncul akibat ketidaktahuan TKI tentang peraturan yang berlaku. Persoalan yang kerap terjadi selama di penampungan antara lain, kerja paksa, kekerasan fisik dan seksual serta tekanan kepada calon TKI untuk tunduk kepada aturan semena-mena pengelola penampungan.
Narsidah, mantan TKI asal Banyumas yang kini aktif di komunitas Peduli Perempuan dan Buruh Migran Seruni, menceritakan kesemena-menaan PPTKIS terhadap calon TKI selama di penampungan. Narsidah pernah tinggal di dua tempat penampungan yang berbeda dengan kualitas pelayanan yang hampir sama.
Selama di sana, ia dan Calon TKI tidak hanya kehilangan banyak waktu selama di penampungan akibat sering tidak adanya kejelasan, tetapi juga kerap kehilangan hak dan mengalami kekerasan.
Sebagai contoh, calon TKI yang dianggap melanggar peraturan penampungan harus menjalani hukuman berdiri di depan calon TKI lain. Terkadang, mereka harus memegangi ember berisi pasir. Ada pula hukuman yang mewajibkan calon TKI tersebut untuk mengangkat ember pasir naik turun tangga lantai ruangan beberapa kali.
Pengelola hanya menyediakan sarapan pagi berupa singkong rebus dan makan siang nasi berlauk ikan asin dan sayur secukupnya. Tempat penampungan pun cukup memperihatinkan. Dengan jumlah calon TKI cukup banyak, fasilitas tinggal yang disediakan menjadi tidak layak huni. Calon TKI kebanyakan harus tidur beralas tikar. Tak jarang calon TKI harus berkelahi karena saling memperebutkan bantal. Fasilitas mandi cuci kakus (MCK) pun sangat tidak memadai. Mulai pukul 03.00 wib calom TKI sudah harus berebut untuk mendapatkan air.
Fenomena penapungan, seperti yang diceritakan Narsidah, sepatutnya tidak perlu terjadi. Penampungan calon TKI telah diatur dalam Peraturan Menteri nomor PER-07/MEN/IV/2005. PPTKIS yang gagal menyelenggarakan penampungan calon TKI yang memadai berarti telah melanggar ketentuan tersebut. Konsekuensinya, calon TKI dapat mengajukan keberatan dan gugatan kepada Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi agar PPTKIS tersebut dibekukan atau tidak lagi dapat beroperasi.
Peraturan Menteri Nomor 07 tahun 2005 tersebut mengatur beberapa hal penting seperti standar bangunan, tata letak penampungan dan pelayanan calon TKI. Standar bangunan yang dapat digunakan sebagai penampungan calon TKI sebagaimana diatur dalam pasal 2, yaitu:
a. Bangunan tempat penampungan calon TKI laki-laki dan perumpuan harus terpisah.
b. Ruang tidur untuk setiap orang minimal 7 meter kubik.
c. Satu kamar tidur maksimal dihuni oleh 8 orang, dilengkapi dengan tempat tidur tunggal, kasur, bantal dan sprei, tempat
d. Pakaian/barang calon TKI, ventilasi, kipas angin, dan lampu penerangan cukup.
f. Lantai dan dinding tempat penampungan calon TKI harus bersih dan tidak lembab.
g. Lokasi tempat penampungan jauh dari sumber pencemaran yang mengganggu kesehatan fisik dan mental.
h. pagar halaman tidak tertutup rapat dan dijaga selama 24 jam oleh Satpam.
i. lokasi tempat penampungan dekat dengan jalan raya dan mudah dijangkau.
j. di halaman depan dipasang papan nama berukuran 100 x 200 Cm setinggi 300 Cm dan diberi penerangan yang cukup.
k. Selain itu, penampungan calon TKI harus menyediakan fasilitas berikut:
1.                        Ruang administrasi untuk mengerjakan pekerjaan kantor.
2.                        Penitipan barang berharga calon TKI.
3.                        Papan display/daftar penghuni tempat penampungan.
4.                        Ruang istirahat dengan TV/Radio.
5.                        Ruang untuk penerima tamu.
6.                        Ruang makan yang sehat dan bersih.
7.                        Ruang dapur yang bersih dan layak pakai.
8.                        Ruang ibadah.
9.                        Air bersih untuk minum, cuci, dan mandi.
10.                    Kamar mandi dan WC yang bersih dan tertutup.
11.                    Ruang cuci dan menjemur pakaian yang cukup.
12.                    Penerangan ruangan dan halaman yang cukup.
13.                    Alat pemadam kebakaran ringan (APAR).
14.                    telpon permanen yang dapat diakses oleh calon TKI.
15.                    Sarana transportasi berupa kendaraan roda empat, dan
16.                    Ruang klinik.
l. dilengkapi dengan tempat pembuangan sampah yang tertutup dengan jumlah yang memadai dan pada waktunya sampah harus dibuang ke pembuangan akhir atau dibakar di tempat yang aman; dan
m. tersedia pintu darurat atau jalan keluar dengan arah terbuka keluar yang aman dari bahaya kebakaran.
Selain kewajiban untuk memenuhi standar umum fasilitas, perusahaan pelaksana penempatan tenaga kerja Indonesia (PPTKIS) juga berkewajiban untuk mentaati aturan khusus yang mengatur standar fasilitas di penampungan calon TKI, seperti kamar tidur, fasilitas mandi cuci kakus (MCK) dan ruang makan (PER-07/MEN/IV/2005, Pasal 5). Sebagai kewajiban PPTKIS, standar tersebut merupakan bagian dari hak calon TKI. Calon TKI pada dasarnya memiliki hak untuk menggugat atau mempertanyaakan penyelenggaraan penampungan jika tidak memenuhi standar tersebut.
Berikut adalah uraian standar kelayakan fasilitas di penampungan calon TKI berdasarkan pasal 5 PER-07/MEN/IV/2005:
Kamar tidur untuk setiap TKI berukuran 7 m3, dengan ukuran minimal ketinggian dinding 3 m dan maksimal 3,5 meter. PPTKIS harus menyediakan fasilitas tidur berupa tempat tidur, kasur, bantal dan sprei pembungkus kasur yang bersih dengan penggantian sekurang-kurangnya satu kali seminggu. Jarak setiap tempat tidur, jika berupa kamar yang ditinggali beberapa orang, sekurang-kurangnya adalah 100 cm. Sirkulasi udara dalam ruangan tidur penampungan calon TKI harus diperhatikan oleh PPTKIS. Setiap kamar tidur harus memiliki jendela atau saluran udara (ventilasi) selebar 1/6 luas lantai. Ruangan pun harus memiliki penerangan yang cukup dan tempat penyimpanan barang (locker) dengan ukuran minimal 40 x 60 cm untuk setiap calon TKI.
Kamar Mandi dan toilet (WC) calon TKI di penampungan harus terpisah dari ruangan tidur. Selain harus memiliki pencahayaan dan sirkulasi udara yang baik, kamar mandi minimal berukuran 1 x 1,5 M. Jika kamar mandi dan WC menjadi satu, maka PPTKIS harus menyediakan kamar mandi seluas 1,5 x 2 m. Rasio atau perbandingan pengguna dan jumlah kamar mandi/WC adalah 1:10, atau setiap kamar mandi/WC hanya digunakan untuk 10 orang. Air bersih pun harus tersedia dalam kamar/WC secara mencukupi untuk kebutuhan calon TKI yang menghuni penampungan. Pembuangan kamar mandi?WC pun harus benar-benar berfungsi sehingga tidak menimbulkan masalah kesehatan bagi calon TKI. Calon TKI pun berhak mandi sekurang-kurangnya 2 kali sehari.
Fasilitas lain yang harus tersedia di penampungan calon TKI adalah tempat penjemuran pakaian karena berkaitan dengan kesehatan calon TKI. Tempat penjemuran pakaian untuk penampungan yang menampung 10-20 orang calon TKI minimal harus seluas 1,5 m2 per orang. Tempat penjemuran pakaian untuk setiap orang minimal sepanjang 1 m. hal lain yang terpenting adalah hak calon TKI untuk mencuci 1 kali setiap hari.
Tempat masak atau dapur pun turut diatur dalam peraturan menteri (PER-07/MEN/IV/2005). Pengaturan kelayakan dapur sangat dibutuhkan  karena berkaitan dengan kesehatan calon TKI selama masa penampungan. Dapur di penampungan yang dihuni oleh 50 orang calon TKI minimal harus seluas 18 m2 dengan lebar 2 meter. Kondisi dapur tersebut pun harus layak pakai dan bersih. Alat-alat memasak layak pakai pun harus tersedia berikut dengan fasilitas pencucian alat tersebut dan bahan makanan. Lebih terperinci, dapur harus melalui pengujian laboratorium kesehatan untuk meminimalisir kemungkinan penyakit. PPTKIS juga berkewajiban untuk memajang daftar menu atau makanan selama 1 bulan.
Ruang makan yang disediakan PPTKIS di penampungan calon TKI juga harus memenuhi syarat-syarat yang diatur dalam permen PER-07/MEN/IV/2005. Ruang makan penampungan untuk 50 orang calon TKI minimal harus seluas 18 m2 dengan lebar minimal 3m. PPTKIS harus menyediakan kursi dan meja di ruang makan yang dapat digunakan secara bergantian dan layak pakai. Ruang makan setidaknya berventilasi dengan ukuran 1/10 ukuran luas lantai. Menu makan yang disajikan dalam ruang makan harus disajikan dalam daftar yang dapat dilihat siapa pun. Menu makan tersebut harus memenuhi standar 4 sehat lima sempurna.
Selain aturan yang menyangkut fasilitas-fasilitas utama, PPTKIS harus memenuhi standar lainnya, seperti keamanan, ketersediaan tempat beribadah dan kebebasan beribadah bagi calon TKI, dan fasilitas tambahan lainnya. Setiap tempat penampungan harus memiliki pagar yang kuat dan tidak tertetup dari luar sehingga memudahkan pengawasan masyarakat. Penampungan juga harus dijaga oleh satpan selama 24 jam secara penuh.
Tempat istirahat atau bersantai calon tKI dengan kapasitas daya tampung sampai dengan 50 orang harus dilengkapi pula dengan fasilitas hburan seperti televisi atau radio. Seperti ruang istirahat, Luas ruang ibadah minimal harus seluas 25 m2. Ruang klinik kesehatan di penampungan harus menyediakan alat-alat pertolongan pertama pada pekcelakaan (P3K) dan obatan-obatan ringan lainnya dalam jumlah yang cukup. Ukuran ruang klinik minimal seluas 9 m2. Poliklinik tersebut juga harus menyediakan petugas kesehatan sebagai antisipasi persoalan kesehatan buruh migran.
Penampungan juga harus menyediakan alat pemadam kebakaran secara memadai. Satu tabung pemadam kebakaran berukuran minimal 1 kg harus tersedia pada setiap luas ruang 150 m2. Alat pemdam kebakaran tersebut harus diletakkan di tempat yang mudah dijangkau dan terlihat. Maksimal, alat pemadam digantung di dinding dengan ketinggian 1,2 m.
Penampungan juga harus memiliki beberapa fasilitas halaman yang memadai untuk parkir serta arena olahraga yan bersih, tidak becek dan dilengkapi dengan tiang bendera. Setiap ruas jalan antar ruangan di penampungan pun harus dilengkapi dengan penerangan yang memadai. Peralatan penerangan darurat seperti lilin dan lampu minyak tanah pun harus selalu tersedia. Tak lupa, kios kebutuhan sehari-hari pun harus tersedia untuk memenuhi kebutuhan penting calon TKI sehari-hari.[9]
Berdasarkan uraian diatas, maka dapat dikatakan bahwa masih jauh sekali  fasilitas yang ada saat ini didalam rumah penampungan, mungkin terkesan memberatkan PJTKI tetapi memang seperti inilah cara yang pantas memperlakuakan buruh migran.

C.     PENUTUP
1.      Kesimpulan
Penempatan buruh indonesia ke luar negeri menjadi buruh migran merupakan program nasional dalam upaya peningkatan kesejahteraan buruh dan keluarganya serta pengembangan kualitas sumber daya manusia. Pelaksanaan penempatan buruh migran di Indonesia, dapat dilakukan sendiri oleh pemerintah  maupun swasta melalui Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia atau disingkat PJTKI. Dalam pelaksanaannya PJTKI haruslah mengikuti prosedur dan peraturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah agar hak dan kewajiban buruh migran terpenuhi dan dapat mengurangi permasalahan – permasalahan yang ada tentang buruh migran ini.




[1] Muhammad Irsyadul Ibad. Mengenal Aturan Penampungan Buruh Migran. Penerbit: Warta Berita Buruh edisi  VI  bulan Februari 2011 hlm 8
[2] Adnan Hamid, Makalah Tantangan dan Harapan Perlindungan TKI di Malaysia : Jakarta, 2014.
[3] http://buruhmigran.or.id/2012/09/20/apa-definisi-buruh-migran/
[4] Adnan Hamid, Buruh Migran dan perlindungan hukumnya, Bekasi : Penerbit F Media, 2009. Hal 32.
[5] Ibid
[6] Ibid
[7] http://news.liputan6.com/read/75142/ratusan-tki-kabur-dari-tempat-pelatihan
[8] Kompas.com
[9] http://buruhmigran.or.id/2011/03/28/mengenal-aturan-penampungan-tki-1/2/

Rabu, 19 November 2014

Analisis Putusan International Court antara Australia v Jepang tentang Perburuan Paus di Laut Antartika


Australia mulai mengajukan gugatan ke mahkamah internasional untuk menghentikan program perburuan paus yang masih terus dilakukan oleh nelayan-nelayan Jepang. “Kami mendapat informasi bahwa Australia sudah memasukkan gugatan ke mahkamah internasional berkaitan dengan riset paus yang dilakukan Jepang. Tindakan ini sangat disayangkan. Jepang siap menghadapi gugatan ini,” kata Hirofumi Hirano, juru bicara pemerintah.

Jepang tetap mempertahankan perburuan paus dengan alasan tradisi budaya. Negara itu memanfaatkan celah moratorium perburuan dan perdagangan paus yang sudah berlaku sejak 1986 dengan alasan untuk kepentingan riset ilmu pengetahuan.Australia sudah lama menentang aksi perburuan ini, termasuk ekspedisi tahunan yangdilakukan Jepang di perairan Antartika. Ancaman untuk membawa masalah ini ke mahkamah internasional sudah disampaikan Australia.

“Kami ingin mengakhiri semua perburuan paus dengan alasan ilmu pengetahuan di samudera bagian selatan,” kata Menteri Perlindungan Lingkungan Australia Peter Garrett. Sementara itu, Kementerian Luar Negeri Jepang mengatakan tengah menyusun strategi menghadapi gugatan ini.

Kasus ini mencuat setelah Australia menuntut Jepang telah melanggar Konvensi Perburuan Internasional 1946. Sebab, Jepang telah meneken moratorium perburuan paus pada 1986. Namun faktanya, negara tersebut berburu 850 paus Minke setiap tahun di Kutub Selatan. Jepang berdalih hal ini sesuai dengan konvensi yang menyatakan pembunuhan paus diperbolehkan untuk penelitian.

Australia curiga perburuan paus Jepang dilakukan untuk memenuhi konsumsi rakyatnya. Meski dulu perburuan paus diperbolehkan, kini Jepang bisa dikatakan satu-satunya negara yang masih melakukan hal tersebut. Tomka mengatakan Jepang bebas berburu paus jika mundur dari konvensi.

“Dunia internasional mendesak Jepang untuk mematuhi keputusan ini,” demikian pernyataan lembaga perlindungan binatang, World Society for the Protection of Animals, yang berbasis di London. “Keputusan ini merupakan pesan bagi pemerintah di seluruh dunia untuk menghentikan eksploitasi binatang apa pun.”
Jepang mengatakan kegiatan itu legal dan mempunyai tujuan ilmiah dan budaya. Mereka mengeluarkan izin ilmiah sendiri sesuai peraturan yang dibuat oleh komisi mengenai Ikan Paus Internasional.

Profesor Donald Rothwell dari Universitas Nasional Australia mengatakan jika Mahkaman Internasional memihak Australia, para hakim bisa memerintahkan Jepang untuk mengurangi perburuan paus hingga ke titik di mana operasi itu tidak lagi menguntungkan .
(( ROTHWELL )) “Pada akhirnya, Australia benar-benar ingin menghentikan perburuan paus tahunan itu. Tetapi jika keputusan dikeluarkan oleh Mahkamah Internasional mengenai batas jumlah paus yang bisa diburu untuk penelitian ilmiah, jumlah itu mungkin begitu kecil sehingga secara ekonomi tidak efektif bagi Jepang untuk melanjutkan operasi perburuan paus itu.”

Larangan perburuan paus untuk tujuan komersial telah diberlakukan selama seperempat abad, tetapi Jepang ingin menangkap sekitar 1.000 ikan paus setiap tahunnya untuk apa yang disebut sebagai penelitian.
Kementerian Luar Negeri Jepang mengatakan perburuan itu penting untuk melakukan penelitian 'faktor-faktor biologis,' seperti komposisi umur, kematangan seksual dan tingkat kehamilan' ikan paus. Para pengecam berpendapat tidak banyak yang bisa disimpulkan mengenai populasi ikan paus yang berkelanjutan setelah Jepang melaksanakan penelitian selama berpuluh-puluh tahun sejak moratorium internasional diadakan.
Para pejabat di Tokyo juga menekankan alasan-alasan budaya dibalik perburuan tahunan itu, yang kata mereka mempunyai 'makna sosio-ekonomi penting” untuk sejumlah kecil masyarakat pesisir Jepang yang terkena dampak dari larangan perburuan secara komersial itu.

Jepang juga menegaskan bahwa operasi perburuan pausnya berkelanjutan secara ekologis, dan Jepang tidak menyembunyikan fakta bahwa daging ikan paus dijual dengan untung besar. Jepang membela praktek menyantap daging ikan paus sebagai sebuah tradisi kuliner. Hasil dari penjualan ikan paus itu sebagian digunakan untuk membayar program
penelitian ikan paus.


Penyelesaian Masalah
Mahkamah internasional memenangkan Australia dan melarang Jepang untuk berburu paus. Jepang pada tahun 1986 telah menandatangani moratorium perburuan paus, tetapi masih terus melakukan perburuan terhadap paus minke hingga mencapai 850 ekor setiap tahunnya di perairan dingin Samudera Selatan.
Jepang juga memiliki program penangkapan ikan paus pesisir yang tidak tercakup dalam larangan yang diterbitkan Mahkamah Internasional.
Perburuan Antartika berikutnya akan dimulai pada akhir 2014. Event perburuan terakhir telah dilakukan bulan lalu.
Meskipun telah berkomitmen untuk mematuhi putusan pengadilan Internasional, Jepang tetap bebas melanjutkan perburuan paus jika menarik diri dari moratorium tahun 1986 atau Konvensi Internasional untuk Peraturan Penangkapan Ikan Paus tahun 1946.

LAMPIRAN



INTERNATIONAL COURT OF  JUSTICE


REPORTS OF  JUDGMENTS, ADVISORY OPINIONS AND ORDERS


WHALING
IN  THE  ANTARCTIC

(AUSTRALIA v. JAPAN)


ORDER  OF 13 JULY  2010


2010

COUR INTERNATIONALE DE  JUSTICE

RECUEIL DES  ARRE| TS,
AVIS  CONSULTATIFS ET ORDONNANCES


CHASSE À LA BALEINE DANS  L’ANTARCTIQUE

(AUSTRALIE c. JAPON)


ORDONNANCE DU 13 JUILLET  2010


Official citation :
Whaling  in the Antarctic  (Australia v. Japan), Order of 13 July  2010, I.C.J.  Reports  2010, p. 400



Mode  officiel de citation :
Chasse à la baleine dans l’Antarctique  (Australie c. Japon), ordonnance du 13 juillet 2010, C.I.J.  Recueil  2010, p. 400




  
ISSN  0074-4441
ISBN  978-92-1-071095-4


Sales number

985
 
No de vente :



13 JULY  2010

ORDER





WHALING
IN  THE  ANTARCTIC

(AUSTRALIA v. JAPAN)


CHASSE Av  LA BALEINE DANS L’ANTARCTIQUE

(AUSTRALIE c. JAPON)

13 JUILLET 2010

ORDONNANCE
400

INTERNATIONAL COURT OF  JUSTICE

2010
13 July
General  List
No. 148


YEAR  2010

13 July 2010


WHALING
IN  THE  ANTARCTIC

(AUSTRALIA v. JAPAN)


ORDER


Present :  Vice-President TOMKA,  Actin President ;  President  OWADA ; Judges KOROMA, AL-KHASAWNEH, BUERGENTHAL, SIMMA, ABRAHAM, KEITH,  SEPÚLVEDA-AMOR, BENNOUNASKOTNIKOV, CANÇADO TRINDADE, YUSUF,  GREENWOOD ; Registrar  COUVREUR.



The International Court of Justice, Composed as above,
After  deliberation,
Having  regard  to Article  48 of the Statute of the Court and to Articles
13, paragraph 1, 31, 44, 45, paragraph 1, 48 and 49 of the Rules of Court,
Having  regard  to the Application filed in the Registry of the Court on
31 May  2010, whereby  Australia instituted proceedings against  Japan in respect  of a dispute  concerning
“Japan’s continued  pursuit  of  a  large-scale   program  of  whaling under  the  Second  Phase  of  its  Japanese Whale  Research Program under  Special  Permit  in  the  Antarctic (‘JARPA II’),  in  breach   of obligations assumed by Japan under  the  International Convention for  the  Regulation of Whaling (‘ICRW’),  as well as its other  inter- national obligations for  the  preservation of  marine  mammals and the marine  environment” ;

400




COUR INTERNATIONALE DE  JUSTICE


ANNÉE 2010

13 juillet 2010


CHASSE Av  LA BALEINE DANS  L’ANTARCTIQUE

(AUSTRALIE c. JAPON)




ORDONNANCE


Présents :  M.  TOMKA,  vice-président,  faisant   fonctio de  président  en l’affaire ; M.  OWADA,  président  de  la  Cour ; MM.   KOROMA, AL-KHASAWNEH, BUERGENTHAL, SIMMA,  ABRAHAM, KEITH, SEPÚLVEDA-AMOR, BENNOUNA, SKOTNIKOV, CANÇADO TRIN- DADE,  YUSUF, GREENWOOD, juges ; M. COUVREUR, greffier.


La Cour  internationale de Justice, Ainsi composée,
Après  délibéré  en chambre du conseil,
Vu l’article 48 du Statut de la Cour  et les articles  13, paragraphe 1, 31,
44, 45, paragraphe 1, 48 et 49 de son Règlement,
Vu  la  requête  enregistrée au  Greffe  de  la  Cour  le 31 mai  2010,  par laquelle  l’Australie  a introduit une instance  contre  le Japon au sujet d’un différend  concernant
« la poursuite par  le Japon de l’exécution  d’un  vaste  programme de chasse à la baleine dans le cadre de la deuxième phase du programme japonais  de recherche  scientifique  sur les baleines  en vertu  d’un per- mis spécial dans  l’Antarctique JARPA II »), en violation des obli- gations  contractées par cet Etat  aux termes de la convention interna- tionale  pour  la réglementation de la chasse  à la baleine   ICRW »), ainsi que d’autres  obligations internationales relatives  à la préserva- tion  des mammifères  marins  et de l’environnement marin » ;


2010
13 juillet
Rôle  général no 148

401                 WHALING IN  THE  ANTARCTIC (ORDER 13 VII 10)

Whereas  on 31 May 2010 a certified copy of the Application was trans- mitted  to Japan ;
Whereas  on 31 May  2010 Australia notified  the Court of the appoint- ment of Mr. William McFadyen Campbell as Agent and H.E.  Mrs. Lydia Elisabeth Morton as Co-Agent ; and whereas on 10 June 2010 Japan noti- fied the  Court of the  appointment of Mr.  Koji  Tsuruoka as Agent  and H.E.  Mr.  Minoru Shibuya  as Co-Agent ;

Whereas, at  a meeting  held  by the  Vice-President of the  Court, exer- cising the functions of the presidency in the case, with the representatives of the Parties  on 9 July 2010, the latter  indicated that  they had  come to an agreement that  the Parties  should  each have a period  of ten months at their  disposal, from  the  day  of that  meeting,  in which  to  prepare their respective  written  pleadings ;
Taking  into  account the agreement of the Parties,

Fixes  the  following  time-limits for  the  filing of the  written  pleadings :

9 May  2011 for the Memorial of Australia ;
9 March 2012 for the Counter-Memorial of Japan ; and
Reserves  the subsequent procedure for further decision.

Done  in English  and in French, the English  text being authoritative, at the  Peace  Palace,  The  Hague, this  thirteenth day  of July,  two  thousand and ten, in three copies, one of which will be placed in the archives  of the Court and the others  transmitted to the Government of Australia and the Government of Japan, respectively.

(Signed) Peter  TOMKA, Vice-President.
(Signed) Philippe  COUVREUR, Registrar.

CHASSE  À LA BALEINE DANS  LANTARCTIQUE  (ORDONNANCE 13 VII 10)


401


Considérant que,  le 31 mai  2010,  une  copie  certifiée  conforme de  la requête  a été transmise au Japon ;
Considérant que,  le 31  mai  2010,  l’Australie   a  notifié  à  la  Cour   la désignation de  M.  William  McFadyen Campbell comme  agent  et  celle de  S.  Exc.   Mme   Lydia   Elisabeth  Morton  comme   coagent ;  et  que, le 10 juin  2010, le Japon a notifié  à la Cour  la désignation de M.  Koji Tsuruoka comme  agent  et celle de S. Exc.  M.  Minoru Shibuya  comme coagent ;
Considérant que,  au  cours  d’une  réunion que  le vice-président de  la Cour,  faisant  fonction de président en l’affaire,  a tenue  avec les représen- tants  des Parties  le 9 juillet  2010, ceux-ci ont  indiqué  qu’ils étaient  par- venus  à un  accord  tendant à ce que  les Parties  disposent chacune  d’une période  de dix mois, à compter du jour  de ladite  réunion, pour  la prépa- ration de leurs écritures  respectives ;
Compte tenu  de l’accord  des Parties,

Fixe  comme  suit  les dates  d’expiration des  délais  pour  le dépôt  des pièces de la procédure écrite :
Pour  le mémoire  de l’Australie, le 9 mai 2011 ; Pour le contre-mémoire du Japon, le 9 mars  2012 ; Réserve  la suite de la procédure.

Fait  en anglais  et en français, le texte anglais  faisant  foi, au Palais de la Paix, à La Haye,  le treize juillet deux mille dix, en trois exemplaires, dont l’un restera  déposé  aux  archives  de la Cour  et les autres  seront  transmis respectivement au Gouvernement de l’Australie  et au Gouvernement du Japon.

Le vice-président,
(Signé) Peter  TOMKA.

Le greffier,
(Signé) Philippe  COUVREUR.



PRINTED IN  THE  NETHERLANDS


ISSN  0074-4441


 
ISBN  978-92-1-071095-4