Jumat, 05 Desember 2014

DELIK SANTET DALAM RUU KUHP



Postingan Kali ini diambil dari Tulisan saya sendiri dalam majalah Syiar Islam SKI terbitan SKI KMUP pada tahun 2013. 

DELIK SANTET DALAM KUHP!
Rencana pemerintah yang akan memasukan pasal yang mengatur mengenai delik (perbuatan hukum) santet dalam Revisi KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) menuai sejumlah pro dan kontra di masyarakat. Berikut bunyi Delik santet dalam RUU KUHP di Bab Tindak Pidana Ketertiban Umum.

Pasal 293
(1) Setiap orang yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib, memberitahukan, menimbulkan harapan, menawarkan atau memberikan bantuan jasa kepada orang lain bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan penyakit, kematian, penderitaan mental atau fisik seseorang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV.

(2) jika pembuat tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan perbuatan tersebut untuk mencari keuntungan atau menjadikan sebagai mata pencarian atau kebiasaan, pidananya dapat ditambah dengan 1/3 (satu per tiga).

Dukungan terhadap delik santet

Menurut Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Amir Syamsuddin,  perdebatan yang terus terjadi mengenai wacana tersebut disebabkan adanya pihak-pihak yang tidak memahami bahwa pasal santet tersebut merupakan delik formal yang berarti tidak perlu dibuktikan akibat perbuatan orang terkait. Pasal tersebut akan dikenakan pada pihak yang memberikan jasa santet atau “orang pintar”nya. Sebab,  dia yang berjanji melakukan jasa yang berniat mencelakakan orang lain . Menurut Amir, pasal santet secara logis bisa diterapkan dengan tujuan melindungi masyarakat.
Dukungan lain datang dari Majelis Ulama Indonesia (MUI). Koord. Ketua MUI KH Ma’ruf Amin mengatakan setuju jika santet dimasukan dalam KUHP kerena santet merupakan praktek perdukunan dan MUI telah mengeluarkan fatwa mengenai haramnya praktek tersebut dari lama dan untuk masalah pembuktian, MUI menyerahkannya kepada ahli hukum agar segera mengkaji hal tersebut. Selain itu, KH Muhammad Al Khaththath dalam artikelnya di majalah Suara Islam menyatakan dukungannya untuk delik santet dimasukan dalam KUHP.

Penolakan terhadap delik santet

Ketua Umum Peradin Ropaun Rambe saat menghadiri pelantikan advokat Peradin baru di Bandung, mengatakan kepada bahwa “Hukum itu berlandaskan logika. Lebih dari itu, dari titik pandang agama apapun, santet itu tak bisa diterima karena bertentangan dengan pemikiran keagamaan, mengingat kenyataan Indonesia negara berlandasan Pancasila yang mengutamakan ketuhanan maka masuknya santet ke ranah hukum pidana lewat pasal-pasal KUHP yang baru tidak bisa diterima. Atas dasar itu, kami di Peradin menolaknya”. Sekjen Peradin Samuel Kikilaitety mengatakan bahwa wacana pemasukan santet ke dalam hukum pidana sangat berpotensi membingungkan masyarakat. Setiap perundang-undangan ujung-ujungnya akan berpengaruh pada kehidupan bermasyarakat luas. Harus sungguh-sungguh dipertimbangkan apakah publik akan menerimanya. Meski urusan perancangan undang-undang berada di tangan Pemerintah dan DPR.

Pandangan Islam mengenai santet

Sejatinya ilmu santet merupakan perbuatan sihir yang sudah jelas larangannya dalam agama islam. Allah Berfirman “Sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa barangsiapa yang menukar (kitab Allah) dengan sihir itu, tiadalah keuntungan baginya di akherat.” (Al-Baqarah: 102)
Sihir merupakan dosa besar. Rasulullah SAW dalam hadist riwayat Bukhari dan Muslim bersabda salah satu dari 7 perkara dosa besar adalah sihir. Imam Adz Dzahabi, mengatakan orang yang memlakukan sihir maka dia kafir.

Allah SWT berfirman “Dan Nabi Sulaiman tidaklah kafir akan tetapi para syaitan lah yang kafir, mereka mengajarkan sihir kepada manusia” (Al Baqarah : 102)

Hukuman untuk pelaku sihir
           
Umar bin Khattab Ra, pernah mengirim surat kepada seluruh gubernur pada masa kekhalifahannya yang berbunyi “Hendaklah kalian membunuh tukang sihir baik laki-laki ataupun perempuan” (HR Iman Ahmad, di shohihkan oleh Syu’aib Al Arnauth)

Jadi, berdasarkan kisah tersebut dapat kita simpulkan. Jika delik santet dimasukan kedalam KUHP maka hukuman yang pantas adalah hukuman mati. Rasulullah Saw juga bersabda “Hukuman bagi tukang sihir adalah dipenggal dengan pedang” (HR Tirmidzi, Hakim)

Sihir mempunyai beberapa tigkatan. Muhammad bin Amin Asy-Syinqithi dalam kitab Adhwaul Bayan berkata: “Yang benar di sisiku adalah bahwa penyihir yang sihirnya belum sampai ke tingkat kufur dan dia tidak membunuh dengan sihirnya itu, maka dia tidak boleh dibunuh berdasarkan dalil-dalil yang qath’i (kuat) dan ijma’ atas terpeliharanya darah orang-orang Islam secara umum kecuali apabila datang dalil yang jelas. Membunuh tukang sihir yang belum sampai pada tingkatan kufur dengan sihirnya, tidak ada yang shahih dari Rasulullah. Dan menumpahkan darah seorang muslim tanpa ada dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah yang shahih, belum jelas pembolehannya di sisiku.” dan ilmunya di sisi Allah, bersamaan dengan itu yang mengatakan harus dibunuh secara mutlak merupakan pendapat yang kuat sekali berdasarkan perbuatan para shahabat tanpa ada pengingkaran.  Apakah mereka harus dimintai taubat atau langsung dibunuh? Terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama dan pendapat yang kuat berdasarkan tarjih Asy-Syinqithi dalam kitab Adhwaul Bayan: “Kalau dia bertaubat maka taubatnya diterima, karena sihir tidak lebih besar daripada dosa syirik dan Allah menerima taubat tukang sihir Fir’aun dan menjadikan ketika itu sebagai walinya”.**Reg