Postingan Kali ini diambil dari Tulisan saya sendiri dalam majalah Syiar Islam SKI terbitan SKI KMUP pada tahun 2013.
DELIK SANTET DALAM KUHP!
Rencana pemerintah yang akan memasukan
pasal yang mengatur mengenai delik (perbuatan hukum) santet dalam Revisi KUHP
(Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) menuai sejumlah pro dan kontra di masyarakat.
Berikut bunyi Delik santet dalam RUU KUHP di Bab Tindak Pidana
Ketertiban Umum.
Pasal 293
(1) Setiap orang yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib,
memberitahukan, menimbulkan harapan, menawarkan atau memberikan bantuan jasa
kepada orang lain bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan penyakit, kematian,
penderitaan mental atau fisik seseorang, dipidana dengan pidana penjara paling
lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV.
(2) jika pembuat tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
melakukan perbuatan tersebut untuk mencari keuntungan atau menjadikan sebagai
mata pencarian atau kebiasaan, pidananya dapat ditambah dengan 1/3 (satu per
tiga).
Dukungan terhadap delik santet
Menurut Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Amir
Syamsuddin, perdebatan yang terus terjadi
mengenai wacana tersebut disebabkan adanya pihak-pihak yang tidak memahami
bahwa pasal santet tersebut merupakan delik formal yang berarti tidak perlu
dibuktikan akibat perbuatan orang terkait. Pasal tersebut akan dikenakan pada
pihak yang memberikan jasa santet atau “orang pintar”nya. Sebab, dia yang berjanji melakukan jasa yang berniat
mencelakakan orang lain . Menurut Amir, pasal santet secara logis bisa
diterapkan dengan tujuan melindungi masyarakat.
Dukungan lain datang dari Majelis Ulama Indonesia (MUI). Koord.
Ketua MUI KH Ma’ruf Amin mengatakan setuju jika santet dimasukan dalam KUHP
kerena santet merupakan praktek perdukunan dan MUI telah mengeluarkan fatwa
mengenai haramnya praktek tersebut dari lama dan untuk masalah pembuktian, MUI
menyerahkannya kepada ahli hukum agar segera mengkaji hal tersebut. Selain itu,
KH Muhammad Al Khaththath dalam artikelnya di majalah Suara Islam menyatakan
dukungannya untuk delik santet dimasukan dalam KUHP.
Penolakan terhadap delik
santet
Ketua Umum Peradin Ropaun Rambe saat menghadiri
pelantikan advokat Peradin baru di Bandung, mengatakan kepada bahwa “Hukum itu
berlandaskan logika. Lebih dari itu, dari titik pandang agama apapun, santet
itu tak bisa diterima karena bertentangan dengan pemikiran keagamaan, mengingat
kenyataan Indonesia negara berlandasan Pancasila yang mengutamakan ketuhanan
maka masuknya santet ke ranah hukum pidana lewat pasal-pasal KUHP yang baru
tidak bisa diterima. Atas dasar itu, kami di Peradin menolaknya”. Sekjen Peradin Samuel Kikilaitety
mengatakan bahwa wacana pemasukan santet ke dalam hukum pidana sangat
berpotensi membingungkan masyarakat. Setiap perundang-undangan ujung-ujungnya
akan berpengaruh pada kehidupan bermasyarakat luas. Harus sungguh-sungguh dipertimbangkan
apakah publik akan menerimanya. Meski urusan perancangan undang-undang berada
di tangan Pemerintah dan DPR.
Pandangan Islam mengenai
santet
Sejatinya ilmu santet merupakan perbuatan
sihir yang sudah jelas larangannya dalam agama islam. Allah
Berfirman “Sesungguhnya mereka telah
meyakini bahwa barangsiapa yang menukar (kitab Allah) dengan sihir itu,
tiadalah keuntungan baginya di akherat.” (Al-Baqarah: 102)
Sihir merupakan dosa besar. Rasulullah SAW dalam hadist riwayat
Bukhari dan Muslim bersabda salah satu dari 7 perkara dosa besar adalah sihir. Imam
Adz Dzahabi, mengatakan orang yang memlakukan sihir maka dia kafir.
Allah SWT berfirman “Dan
Nabi Sulaiman tidaklah kafir akan tetapi para syaitan lah yang kafir, mereka
mengajarkan sihir kepada manusia” (Al Baqarah : 102)
Hukuman untuk pelaku sihir
Umar bin Khattab
Ra, pernah mengirim surat kepada seluruh gubernur pada masa kekhalifahannya
yang berbunyi “Hendaklah kalian membunuh
tukang sihir baik laki-laki ataupun perempuan” (HR Iman Ahmad, di shohihkan
oleh Syu’aib Al Arnauth)
Jadi, berdasarkan kisah tersebut dapat kita simpulkan. Jika delik
santet dimasukan kedalam KUHP maka hukuman yang pantas adalah hukuman mati.
Rasulullah Saw juga bersabda “Hukuman
bagi tukang sihir adalah dipenggal dengan pedang” (HR Tirmidzi, Hakim)
Sihir mempunyai beberapa tigkatan. Muhammad
bin Amin Asy-Syinqithi dalam kitab Adhwaul Bayan berkata: “Yang benar di sisiku
adalah bahwa penyihir yang sihirnya belum sampai ke tingkat kufur dan dia tidak
membunuh dengan sihirnya itu, maka dia tidak boleh dibunuh berdasarkan
dalil-dalil yang qath’i (kuat) dan ijma’ atas terpeliharanya darah orang-orang
Islam secara umum kecuali apabila datang dalil yang jelas. Membunuh tukang
sihir yang belum sampai pada tingkatan kufur dengan sihirnya, tidak ada yang
shahih dari Rasulullah. Dan menumpahkan darah seorang muslim tanpa ada dalil
dari Al Qur’an dan As Sunnah yang shahih, belum jelas pembolehannya di sisiku.”
dan ilmunya di sisi Allah, bersamaan dengan itu yang mengatakan harus dibunuh
secara mutlak merupakan pendapat yang kuat sekali berdasarkan perbuatan para
shahabat tanpa ada pengingkaran. Apakah
mereka harus dimintai taubat atau langsung dibunuh? Terjadi perbedaan pendapat
di kalangan ulama dan pendapat yang kuat berdasarkan tarjih Asy-Syinqithi dalam
kitab Adhwaul Bayan: “Kalau dia bertaubat maka taubatnya diterima, karena sihir
tidak lebih besar daripada dosa syirik dan Allah menerima taubat tukang sihir
Fir’aun dan menjadikan ketika itu sebagai walinya”.**Reg