Regina Fadjri Andira
Isi blog ini adalah Persepsi saya :)
Minggu, 17 Juni 2018
Sabtu, 18 Juni 2016
Analisis Pembatalan Perda Oleh Presiden Menurut Perpektif Hukum Tata Negara
Jagat hukum Indonesia dikisruhkan lagi oleh berita pembatalan atas tidak kurang dari 3.143 peraturan daerah (perda) oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri).
Pasalnya, bisakah Mendagri melakukan pembatalan secara sepihak terhadap perda? Bukankah menurut konstitusi pengujian legalitas dan pembatalan perda yang telah berlaku secara sah itu hanya bisa dilakukan oleh Mahkamah Agung (MA)? Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) merupakan kementerian besar yang pasti mempunyai biro hukum yang kuat untuk memagari Mendagri agar tidak sampai membuat kebijakan yang bertentangan dengan hukum.
Pencabutan 3.143 perda itu tentu sudah dipelajari secara saksama dan diyakini oleh tim hukum Kemendagri sebagai langkah yang tidak melanggar hukum. Betulkah? Kalau kita melihat masalah itu dari rezim hukum pemerintahan daerah, Mendagri memang mempunyai kewenangan untuk membatalkan perda sesuai dengan ketentuan Pasal 251 UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Tapi jika dilihat dari rezim hukum perundang-undangan, dasar hukum yang dipergunakan Mendagri untuk melakukan pembatalan itu adalah salah secara hukum. Tepatnya isi UU No 23 Tahun 2014 itu bertentangan dengan UU lain, yakni UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- undangan yang bersumber langsung dari UUD Negara Republik Indonesia (NRI) 1945.
Menurut Pasal 24A UUD NRI 1945, pengujian legalitas peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap UU atau peraturan perundangundangan yang lebih tinggi dilakukan oleh MA. Adapun pengujian konstitusionalitas UU terhadap UUD dilakukan Mahkamah Konstitusi (MK).
Ketentuan yang demikian sudah dituangkan dengan tepat di dalam Pasal 9 UU No 12 Tahun 2011 yang menyatakan dugaan pertentangan UU dengan UUD diperiksa dan diputus MK, sedangkan dugaan pelanggaran peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi diperiksa dan diputus oleh MA.
Dengan demikian lembaga eksekutif, Presiden atau kementerian, sebenarnya tidak bisa melakukan pembatalan terhadap perda secara sepihak dengan alasan apa pun. Pembatalan atau pencabutan perda harus dilakukan menurut rezim hukum perundang-undangan ini. Pertanyaan yang kemudian muncul, bagaimana posisi UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemda yang, melalui Pasal 251, memberi kewenangan kepada Mendagri untuk mencabut perda?
Jawabannya simpel saja. Yang lebih kuat untuk diikuti adalah ketentuan UU No 12 Tahun 2011 yang menentukan, pengujian legalitas atas perda hanya bisa dilakukan oleh MA melalui perkara judicial review. UU No 12 Tahun 2011 ini lebih kuat karena ia merupakan derivasi langsung dari ketentuan Pasal 24A UUD NRI 1945.
Seharusnya pembentuk UU No 23 Tahun 2014 tunduk pada ketentuan konstitusi bahwa pembatalan atau pencabutan perda karena bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang lebih tinggi hanya bisa dilakukan melalui judicial review oleh MA, bukan oleh menteri atau gubernur. Pembentuk UU tidak boleh mencampur aduk antara kewenangan yudikatif dan pengawasan administratif.
UU Pemerintahan Daerah yang sebelumnya, yakni UU No 32 Tahun 2004, telah mengatur masalah tersebut dengan cukup baik meskipun tidak juga sepenuhnya tepat. Menurut Pasal 145UUNo 32Tahun2004, setiap perda yang sudah diberlakukan harus disampaikan kepada pemerintah (pusat) paling lama 7 hari sejak ditetapkan oleh legislator daerah.
Dalam waktu 60 hari sejak disampaikan oleh legislator daerah, pemerintah pusat bisa membatalkannya. Jika dalam kurun waktu tersebut perda tidak dibatalkan oleh pemerintah pusat, maka ia menjadi berlaku sepenuhnya. Ketentuan yang diatur di dalam UU No 32 Tahun 2004 itu dapat dinilai lebih baik karena lebih memberi kepastian hukum terhadap perda.
Sebaliknya ketentuan berdasar UU No 23 Tahun 20014 yang tidak memberi batasan waktu, kapan paling lama pemerintah pusat atau jenjang pemerintahan yang lebih tinggi dibolehkan membatalkan perda, dapat menimbulkan ketidakpastian hukum.
Pembatalan itu bisa dilakukan kapan saja sewaktu-waktu pusat mau melakukannya, termasuk karena ada insiden yang sebenarnya lebih merupakan soal teknis pemerintahan. Maka itu sangatlah tepat apabila pembatalan perda yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tetaplah hanya dilakukan oleh lembaga yudisial melalui judicial review di MA.
Jika diperlukan pencabutan perda di luar judicial review, ada jalan lain yang bukan tindakan sepihak Mendagri, yakni mekanisme legislative review. Artinya pembatalan itu dilakukan oleh legislator daerah melalui proses legislasi oleh kepala daerah dan DPRD dengan mencabut atau menggantinya dengan perda baru yang setara.
Prosedur yang demikian sama dengan prosedur executive review terhadap peraturan perundang- undangan yang dibuat oleh pemerintah seperti peraturan pemerintah, perpres, peraturan kepala daerah yang semuanya bisa dicabut sendiri oleh lembaga yang membuatnya.
Dengan demikian untuk mencabut perda yang sudah berlaku secara sah hanya tersedia dua pintu, yaitu judicial review di MA dan legislative review di pemerintahan daerah sendiri, tidak boleh dilakukan secara sepihak oleh pemerintah yang di atasnya. Penegakan negara hukum menuntut kecermatan dan kesabaran.
Kalau misalnya dengan niat baik pemerintah yang sekarang melakukan pembatalan atas perda secara sepihak tanpa melalui judicial review atau legislative review, bisa jadi suatu saat pemerintah yang akan datang melakukan juga pembatalan perda secara sepihak bukan dengan niat baik, melainkan dengan cara sewenang- wenang. Alasannya, pemerintah sebelumnya melakukan hal itu. Kalau itu yang terjadi, rusaklah negara hukum kita.**
Sumber : Koran Sindo (Online) edisi 18/6/2016 judul asli "Kisruh Hukum Pembatalan Perda" oleh Prof Mahfud MD.
Senin, 04 Januari 2016
ETIKA PROFESI HUKUM
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Indonesia
merupakan negara hukum, hal tersebut telah tegas tercantum dalam Pasal 1 Ayat 3
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD RI 1945). UUD 1945
merupakan dasar terhadap apapun dalam konstitusi di Indonesia. Dasar yang kuat
dan kokoh ini terdokumentasi pada kalimat-kalimat terakhir di alinea keempat
pembukaan UUD 1945 yang kita kenal dengan sebutan Pancasila.[1]
Dengan demikian maka Pancasila adalah dasar Negara sekaligus ideologi nasional
dan falsafah pandangan hidup bangsa.
Nilai-nilai ajaran yang terkandung di dalam
Pancasila pada esensinya adalah nilai-nilai budaya, nilai-nilai adat, dan
nilai-nilai religiusitas yang sudah lama hidup dan berkembang sangat jauh hari
sebelum Indonesia merdeka.[2]
Sesuatu dikatakan mempunyai nilai apabila dapat bermanfaat menurut manusia yang
memberikan penilaiannya. Jadi nilai tidak lain sebenarnya adalah kualitas dari
sesuatu.
Nilai-nilai Pancasila selanjutnya
dijabarkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan, ketetapan, keputusan,
dan peraturan-peraturan lain pada hakikatnya merupakan nilai instrumental
sebagai penjabaran dari nilai-nilai dasar Pancasila.
Manusia sebagai makhluk budaya selalu melakukan
penilaian terhadap keadaan yang dialaminya. Menilai berarti memberi
pertimbangan untuk menentukan sesuatu itu benar atau salah, baik atau buruk,
indah atau jelek, berguna atau tidak. Hasil penilaian itu disebut nilai, yaitu
sesuatu yang benar, yang baik, yang indah, yang berguna.[3]
Menilai berarti menimbang-nimbang dan
membandingkan sesuatu dengan yang lainnya untuk kemudian mengambil sikap atau
keputusan. Hasil pertimbangan dan perbandingan itulah yang disebut nilai.
Karena ada unsur pertimbangan dan perbandingan, berarti sesugguhnya obyek yang
diberi penilaian tersebut tidak tunggal. Artinya, suatu obyek baru dikatakan
bernilai tertentu apabila ada obyek serupa sebagai pembandingnya.[4]
Idealnya setiap orang dan setiap masyarakat
mempunyai sistem nilai tunggal. Artinya, hanya ada satu sistem nilai yang
dianut oleh tiap individu dan tiap masyarakat. Secara populer, orang atau
masyarakat yang menganut lebih dari satu sistem nilai ini disebut orang atau
masyarakat yang berstandar nilai ganda (double
standard). Standar nilai ganda ini cenderung menghasilkan sikap dan
perilaku yang diskriminatif.[5]
Agar sistem nilai yang ada pada orang dan masyarakat itu dapat diangkat ke
permukaan, sehingga tidak menghasilkan sikap dan perilaku diskriminatif, perlu
ada wujud nilai yang lebih kongkret.
Kita semua hidup dalam jaringan keberlakuan
hukum dalam berbagai bentuk formalitasnya. Semua berjalan sesuai dengan aturan
hukum yang berlaku. Namun, yang namanya manusia dalam menjalani kehidupannya
tidak lepas dari kecenderungan menyimpang atau menyeleweng.[6]
Setiap kelompok profesi memiliki
norma-norma yang menjadi penuntun perilaku anggotanya dalam melaksanakan tugas
profesi. Norma-norma tersebut dirumuskan dalam bentuk tertulis yang disebut
kode etik profesi. Kode etik profesi hukum merupakan bentuk realisasi etika
profesi hukum yang wajib ditaati oleh setiap professional hukum yang
bersangkutan.
B.
Pokok
Permasalahan
1. Bagaimana
penerapan nilai keTuhanan, nilai kemanusiaan, dan nilai kemasyarakatan pada
etika profesi hukum?
2. Apakah
akibat dari tidak diterapkannya nilai keTuhanan, nilai kemanusiaan, dan nilai
kemasyarakatan pada etika profesi hukum?
C.
Kerangka
Teoritis
1. Etika
Dalam bahasa
Yunani ethos yang mempunyai arti adat
istiadat atau kebiasaan yang baik. Etika merupakan kebiasaan manusia
berdasarkan kesepakatan, menurut ruang dan waktu yang berbeda, yang
menggambarkan perangai manusia dalam kehidupan pada umumnya.[7]
2. Moral
Nilai-nilai dan
norma-norma yang menjadi pegangan seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur
tingkah lakunya.[8]
3. Nilai
KeTuhanan
Nilai KeTuhanan
mengandung arti adanya pengakuan dan keyakinan bangsa terhadap adanya Tuhan
sebagai pencipta alam semesta.[9]
4. Nilai
Kemanusiaan
Nilai
kemanusiaan mengandung arti kesadaran sikap dan perilaku sesuai dengan nilai-nilai
moral dalam hidup bersama atas dasar tuntutan hati nurani dengan memperlakukan
sesuatu hal sebagaimana mestinya.[10]
5. Nilai
Kemasyarakatan
Nilai
kemasyarakatan mengandung arti bersatu dalam kedaulatan rakyat untuk membina
rasa nasionalisme dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.[11]
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Penerapan
Nilai KeTuhanan, Nilai Kemanusiaan, dan Nilai Kemasyarakatan Pada Etika Profesi
Hukum
Profesi hukum merupakan salah satu profesi yang
menuntut pemenuhan nilai moral dari pengembannya. Nilai moral itu merupakan
kekuatan yang mengarahkan dan mendasari perbuatan luhur. Setiap profesional
hukum dituntut supaya memiliki nilai moral yang kuat.[12] Oleh
karena itu diperlukan nilai-nilai yang terkandung didalam Pancasila untuk
diterapkan didalam Etika Profesi Hukum.
Nilai
yang dianut seseorang atau suatu masyarakat mempunyai beberapa karakteristik:[13]
1. Nilai
merupakan hasil dari suatu proses interaksi manusia dalam kehidupannya;
2. Nilai
selalu berkaitan dengan kepentingan dari yang bersangkutan. Nilai dengan
demikian merupakan respons yang dibuat seseorang atau suatu masyarakat dengan
bertitik tolak dari kepentingannya masing-masing;
3. Nilai
yang diyakini tersebut tidak selalu berada dalam tataran yang sama. Nilai
memiliki hierarki, ada nilai yang tertanam dalam pribadi seseorang tetapi ada
pula yang tidak begitu dalam diyakini;
4. Nilai-nilai
yang ada dalam sistem nilai itu tidak selamanya sejalan. Dalam situasi tertentu
seseorang atau suatu masyarakat berhadapan dengan dua nilai yang bertolak
belakang yang sama-sama dianutnya.
Nilai-nilai yang terkandung didalam Pancasila
memiliki nilai historis yang cukup dalam, sehingga diperlukan adanya
penghayatan dalam menerapkannya di suatu etika profesi hukum agar seseorang
yang mengemban profesi hukum dapat menjalankan profesinya dengan baik dan
benar. Nilai-nilai yang akan dibahas selanjutnya, yaitu:
a. Nilai
KeTuhanan
Dalam nilai ini memiliki makna yang sangat
dalam, oleh karena itu di dalam Pancasila terdapat pada sila pertama yaitu
Ketuhanan Yang Maha Esa. Nilai ini diterapkan pada etika profesi hukum berupa
penghayatan terhadap adanya agama dan Tuhan di Indonesia yang nantinya sebagai
pedoman seseorang yang berprofesi hukum dalam bersikap tindak.
Manusia yang beriman kepada Tuhan percaya bahwa
manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna, maka sudah
sewajarnya agama menjadi moralitas.[14]
Moral memperoleh daya ikat dari agama agar kewajiban moral sungguh-sungguh
mengikat, maka perlu dipercaya ganjaran Tuhan atas perbuatan yang baik, dan
hukuman atas perbuatan yang buruk. Dengan adanya hal seperti itu seseorang yang
berprofesi hukum akan menjalankan profesinya dengan amanah, karena tanggung
jawab atas profesinya langsung kepada Tuhan.
Sebagai contoh dari profesi hukum yaitu hakim,
seorang hakim dalam hal mengambil keputusannya untuk melakukan penuntutan
kepada terdakwa perlu melihat banyak aspek. Aspek yang dilihat oleh hakim harus
menjadikannya sebagai pertimbangan dalam melakukan penuntutan. Dalam hal ini
hakim harus berkeyakinan bahwa tuntutannya dapat adil bagi seluruh pihak, hakim
juga harus bertanggung jawab atas putusannya karena profesi hakim merupakan
profesi yang agung dan langsung bertanggung jawab pada Tuhan.
b. Nilai
Kemanusiaan
Dalam nilai ini
memiliki makna yang tercantum pada sila kedua Pancasila yaitu Kemanusiaan Yang
Adil dan Beradab. Pada profesi hukum nilai ini sangat penting, karena sebagai
pedoman seseorang itu dalam pengambilan keputusan dan menjalankan profesinya
dengan baik dan benar. Nilai kemanusiaan dalam profesi hukum memiliki arti
yaitu adanya sisi kemanusiaan yang harus dimiliki oleh orang yang berprofesi
hukum yang nantinya akan menimbulkan rasa keadilan yang dimiliki oleh seseorang
tersebut.
c. Nilai
Kemasyarakatan
Dalam nilai ini memiliki makna yang tercantum
pada sila ketiga Pancasila yaitu Persatuan Indonesia. Pada profesi hukum nilai
ini memiliki makna bahwa seseorang yang berprofesi hukum perlu memiliki nilai
ini untuk menjamin adanya nilai yang lahir di dalam masyarakat yang selalu
berkembang dan mengikuti zaman.
2.
Akibat
Dari Tidak Diterapkannya Nilai KeTuhanan, Nilai Kemanusiaan, dan Nilai
Kemasyarakatan Pada Etika Profesi Hukum
Setiap suatu perbuatan yang tidak
mengindahkan suatu hal yang penting perlu dilakukan sudah pasti hasilnya tidak
akan maksimal, begitu pun juga sama hal nya dengan etika dalam profesi hukum.
Ketika suatu etika dalam profesi hukum tidak mengindahkan yang namanya nilai
keTuhanan, nilai kemanusiaan, dan nilai kemasyarakatan sudah pasti hasilnya
tidak akan sesuai dengan yang diharapkan.
Sudah disinggung dalam analisis
permasalahan sebelumnya, bahwa setiap nilai diatas memiliki makna yang cukup
dalam, oleh karena itu jika ketiga nilai itu tidak diterapkan oleh seseorang
yang berprofesi hukum akan menimbulkan akibat yang cukup fatal. Akibat yang
ditimbulkan dari tidak diterapkannya ketiga nilai tersebut akan membawa dampak
yang cukup jelas pada seseorang yang berprofesi hukum tersebut maupun kepada
orang banyak.
- Pada
seseorang yang berprofesi hukum tersebut akibat yang ditimbulkannya akan tidak
sesuainya etika yang dilakukan oleh seseorang tersebut berdasarkan nilai-nilai
yang terkandung dalam Pancasila. Seseorang tersebut akan menggunakan profesinya
dengan leluasa tanpa melihat nilai keTuhanan yaitu dari segi agama seseorang
tersebut yang mengajarkan adanya berkelakuan baik dan jujur yang tanggung
jawabnya nanti langsung kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dalam nilai kemanusiaan,
seseorang tersebut apabila tidak menerapkannya pada profesi yang dijalankannya
akan menghasilkan ketidakadilan dalam segi kemanusiaan yang nantinya akan
menimbulkan kerugian yang banyak pada seseorang yang berprofesi hukum tersebut
karena sudah dinilai tidak pantas lagi. Dalam segi nilai kemasyarakatan,
seseorang yang berprofesi hukum tidak menerapkan dalam profesinya akan berakibat
seseorang itu tidak melihat keadaan yang berkembang dalam masyarakat yang
selalu berubah mengikuti perkembangan zaman.
- Pada
seseorang yang merasa dirugikan akan menimbulkan akibat yang cukup fatal, dari
ketiga nilai itu menimbulkan dampak yang terus menerus yang nantinya orang yang
merasa dirugikan itu akan menilai bahwa seseorang yang berprofesi hukum itu
tidak menjalankan profesinya dengan benar. Orang yang menilai itu akan melihat
bahwa orang yang berprofesi hukum itu hanya menjalankan profesinya dengan
berorientasi pada uang.
Setiap pihak yang berprofesi hukum jika tidak
menjalankan nilai-nilai tersebut diatas, maka dapat timbul akibat yang
disebabkan oleh seseorang itu yang tidak menjalankan nilai-nilai yang sudah
ada. Dalam menjalankan tugasnya, professional hukum wajib bertanggung jawab,
artinya:[15]
a. Kesediaan
melakukan dengan sebaik mungkin tugas apa saja yang termasuk lingkup
profesinya;
b. Bertindak
secara proporsional, tanpa membedakan perkara bayaran dan perkara cuma-cuma
(prodeo);
c. Kesediaan
memberikan laporan pertanggungjawaban atas pelaksanaan kewajibannya.
Jika ketiga poin
diatas mengenai tanggung jawab profesi tidak dijalankan, maka sudah dapat
dipastikan bahwa seseorang yang berprofesi hukum tersebut tidak menerapkan
ketiga nilai yang sudah dijelaskan sebelumnya.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Setelah sebelumnya dalam permasalahan diatas
dilakukan pembahasan, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa:
1. Dalam
penerapan nilai-nilai yang sudah disebutkan diatas pada etika profesi hukum
memiliki pern-perannya tersendiri. Pada nilai KeTuhanan, nilai ini memiliki
makna yang cukup dalam karena merupakan nilai yang berorientasi pada Tuhan Yang
Maha Esa. Nilai ini juga mengandung arti bahwa seseorang dalam melakukan
perbuatannya khususnya dalam berprofesi di bidang hukum langsung bertanggung
jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa. Nilai ini memiliki arti bahwa dalam ajaran
agama seseorang itu mengajarkan harus memiliki etika dan moral yang baik yang
harus bermanfaat bagi orang banyak.
Pada nilai kemanusiaan, nilai ini memiliki
makna bahwa seseorang yang berprofesi hukum wajib berlaku adil dan memandang
seseorang itu sama tanpa membeda-bedakannya. Nilai ini dapat diterapkan pada
etika profesi hakim, dalam memutuskan suatu perkara seorang hakim wajib melihat
beberapa pertimbangan khususnya mengenai kemanusiaan. Seorang hakim tersebut
harus melihat bagaimana latar belakang seseorang tersebut guna pertimbangan
dalam melakukan pemutusan perkara, hakim tersebut harus adil dan tidak melihat
apakah orang itu kaya atau miskin.
Pada nilai
kemasyarakatan, nilai ini memiliki makna bahwa dalam masyarakat memiliki ciri
khasnya yang berbeda. Dalam suatu etika profesi hukum nilai ini memiliki arti
bahwa dalam melakukan profesinya seseorang harus melihat keadaan yang ada di
dalam masyarakat yang selalu berkembang mengikuti zaman. Dalam nilai ini
keadaan masyarakat menjadi penting karena merupakan subjek dalam suatu etika
profesi hukum.
Jadi pada
nilai-nilai tersebut dapat diterapkan dalam suatu etika profesi hukum yang
nantinya merupakan suatu fundamental dalam etika yang dilakukan oleh seseorang
yang berprofesi hukum.
2. Jika
nilai-nilai tersebut tidak diterapkan pada suatu etika profesi hukum, maka akan
timbul akibatnya. Akibat yang terjadi apabila ketiga nilai tersebut tidak
diterapkan yaitu:
- Nilai
KeTuhanan, jika nilai ini tidak diterapkan maka akibat yang terjadi yaitu
seseorang yang berprofesi hukum itu akan buta arah dalam melakukan profesinya.
Hal ini terjadi karena seseorang itu tidak melihat bahwa suatu perbuatannya
atau etika dan moral yang dilakukannya langsung tanggung jawabnya kepada Tuhan
Yang Maha Esa.
- Nilai
Kemanusiaan, jika nilai ini tidak diterapkan maka seseorang yang berprofesi hukum
akan melakukan perbuatannya dengan tidak adil kepada seseorang. Sudah
disinggung sebelumnya bahwa nilai ini memiliki arti bahwa seseorang yang
berprofesi hukum harus memiliki rasa kemanusiaan yang nantinya sebagai dasar
dalam pengambilan keputusan.
- Nilai
Kemasyarakatan, jika nilai ini tidak diterapkan maka seseorang yang berprofesi
hukum tidak akan tau apa yang yang berkembang dalam masyarakat yang nantinya
akan menimbulkan kekeliruan seseorang itu dalam menjalankan profesinya.
[1] Yurnal, Implementasi
Nilai-Nilai Pancasila Peluang dan Kendala Implementasi Dalam Rangka Ketahanan
Nasional, (Jakarta: Alfath, 2013), hlm. 1.
[2] Ibid.
[3] Abdulkadir Muhammad, Etika
Profesi Hukum, (Jakarta: Citra Aditya Bakti, 2006), hlm. 8.
[4] Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Penjabaran Nilai-Nilai Pancasila Dalam Sistem Hukum Indonesia,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), hlm. 2-3.
[5] Ibid, hlm. 29.
[6] Abdulkadir Muhammad, Op.Cit., hlm. 66.
[7] Ibid, hlm. 14.
[8] Ibid, hlm. 17.
[9]
http://uzey.blogspot.com/2009/09/pancasila-sebagai-sumber-nilai.html?m=1
[10] Ibid.
[11] Ibid.
[12] Abdulkadir Muhammad, Op.Cit., hlm. 62.
[13] Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Op.Cit., hlm. 19-20.
[14] Ibid, hlm. 24.
[15]Ibid, hlm. 63.
Sabtu, 14 November 2015
Tata Cara Memperoleh Wilayah Negara
Menurut
hukum internasional cara penambahan wilayah yang dibenarkan adalah dengan cara
damai tanpa kekerasan. Piagam PBB Pasal 2 ayat 4 dengan jelas menyatakan
larangan untuk menambah wilayah dengan kekerasan. Berikut bunyi pasal tersebut
: Dalam melaksanakan hubungan internasional, semua anggota harus mencegah
tindakan-tindakan yang berupa ancaman atau kekerasan terhadap kedaulatan atau
kemerdekaan politik Negara lain.
Cara
memperoleh yang dibenarkan menurut hukum internasional, yaitu okupasi, akkresi,
prespeksi, cessi. Sedangkan aneksasi atau penaklukan (penggabungan suatu
wilayah lain dengan kekerasan atau paksaan kedalam wilayah negara yang
menganaksasi) tidak dibernarkan.
Penambahan
dengan cara-cara akresi,
cessi, okupasi, preskripsi, dan perolehan wilayah secara paksa yang biasanya berupa
aneksasi, saat ini masih mungkin terjadi dan masih
berlangsung. Cara tersebut (dalam teori hukum internasional) masih relevan
apabila, pada kenyataannya masih ada fenomena tersebut. Cara-cara tersebut
masih digunakan oleh negara-negara untuk menambah wilayah. Namun pada masa sekarang tidak semua cara masih
digunakan.
Cara yang paling sering muncul saat ini untuk menambah wilayah yaitu dengan
cara aneksasi dan referendum. Misalnya, aneksasi yang dilakukan Israel terhadap
wilayah Palestina. Menurut hukum internasional cara tersebut tidak dibenarkan, karena ada larangan untuk menambah wilayah dengan
kekerasan (Pasal 2 ayat 4 Piagam PPB). Selain itu, dengan
cara referendum seperti di Timor Timur 1999, Sudan Selatan 2011.
Wilayah merupakan bagian dari kedaulatan dari suatu negara. Maka dari itu
negara melindungi wilayah kekuasaan. Wilayah juga meruoakan sumber konflik
internasional (antar negara). Banyak negara ingin menambah wilayahnnya, hukum
internasional membatasi keinginan itu. Dalam memperoleh atau menambah wilyah
sering terjadi konflik antar negara. Sengketa-sengketa juga dapat diselesaikan melalui konsialiasi dan dalam
beberapa hal tertentu wajib menggunakan penyelesaian melalui konsialiasi. Berikut contoh penambahan wilayah yang masih terjadi masa sekarang :
1. Okupasi atau Pendudukan (occupation) - Sengketa Pulau Falkland oleh Inggris dan Argentina
Otoritas eksekutif Falkland berada di
bawah wewengan Ratu dan menjadi mandat gubernur. Kekalahan Argentina dalam perebutan
Falkland mengakibatkan runtuhnya kekuasaan diktator militer Argentina pada
1983. Pertentangan mengenai kontrol kepulauan tersebut masih berlangsung hingga
kini.
Sejak abad ke 18, Argentina dan Inggris telah
bersitegang soal siapa yang memiliki pulau Falkland. Pada tahun 1982, pecang
perang kedua negara memperebutkan pulau ini. Lebih dari 600 tentara Argentina
dan 200 tentara Inggris tewas dalam pertempuran tersebut. Status pulau Falkland
sendiri di PBB dianggap sebagai wilayah tak bertuan.
Konflik
tesebut saat ini mulai memanas kembali. Dilansir dari Daily Mail, Rabu 1 Februari
2012, Angkatan Laut Inggris akan menurunkan kapal penghancur tipe 45 HMS
Dauntless selama tujuh bulan di perairan sekitar Falkland, atau yang oleh
Argentina disebut pulau Malvinas. Penurunan kapal perang ini juga untuk mengamankan
wilayah tersebut menjelang perayaan pembebasan Falkland oleh Inggris dari
Argentina 30 tahun silam.
2. Akkresi (accretion) – melalui Pergerakan Sungai
Contoh cara penambahan wilayah secara alamiah yang mungkin timbul karena pergerakan sungai
atau lainnya (misalnya tumpukan pasir karena tiupan angin), terdapat wilayah
yang telah ada yang berada di bawah kedaulatan Negara yang memperoleh hak
tersebut. Tindakan atau pernyataan formal tentang hak ini tidak diperlukan.
Tidak penting untuk diketahui apakah proses penambahan wilayah itu terjadi
secara bertahap atu tidak terlihat, seperti dalam kasus biasa endap-endapan
lumpur atau tentang apakah penambahan itu disebabkan oleh sesuatu pemindahan
tanah secara tiba-tiba atau mendadak, dengan ketentuan bahwa penambahan itu
melekat dan bukan terjadi dalam satu peristiwa yang dapat diidentifikasiakan
berasal dari loksi lain.
Apabila dikatakan bertahap atau tidak kelihatan
setelah selang waktu yang cukup lama. Kaidah-kaidah hokum perdata Romawi
mengenai pembagian pemilikan terhadap endapan-endapan lumpur pada aliran atau
sungai-sungai diantara pemilik-pemilik yang bersebrangan secara analogi berlaku
terhadap persoalan pembagian kedaulatan antara Negara-negara yang bersebrangan
dimana endapan-endapan sama-sama timbul di sungai-sungai yang menjadi garis
perbatasan mereka.
3. Preskripsi (prescripton) - Pulau Palmas
Akibat perang Spanyol-Amerika
Serikat tahun 1898, Spanyol menyerahkan Filipina kepada Amerika Serikat
berdasarkan Treaty of Paris. Pada 1906 pejabat Amerika Serikat mengunjungi
pulau Palmas (Miangas) yang diyakini Amerika Serikat sebagai wilayah yang diserahkan
kepadanya, tetapi Amerika Serikat mendapatkan bendera Belanda berkibar di Pulau
Palmas.
Amerika Serikat dan Belanda merasa
memiliki hak kedaulatan terhadap Pulau Palmas. Dasar klaim Amerika Serikat
adalah cessi, yang ditetapkan dalam Treaty of Paris. Cessi “mentransfer”
semua hak kedaulatan yang dimiliki Spanyol terhadap Pulau Palmas. Sedangkan
Belanda mendasarkan klaim kedaulatannya terhadap Pulau Palmas pada alas hak
okkupasi yaitu melalui pelaksanaan kekuasaan negara secara damai serta terus
menerus atas Pulau Palmas.
Alas Hak Okkupasi ditentukan oleh
prinsip “effectiveness”, efektif berarti memenuhi dua syarat, yakni
adanya kemauan untuk melakukan kedaulatan negara di wilayah yang diduduki dan
adanya pelaksanaan kedaulatan negara yang memadai di wilayah itu. Sedangkan
Alas Hak Cessi adalah tambahan kedaulatan wilayah melalui proses peralihan hak
yang dapat berupa pemberian, tukar menukar atau paksa. Cessi dapat terjadi
dengan sukarela atau dengan paksa. Alas hak yang diperoleh melalui cara okupasi
oleh Belanda lebih kuat dibandingkan cara cessi yang dilakukan oleh Amerika
Serikat maka dari itu Arbitror memutuskan bahwa Pulau Palmas seluruhnya merupakan
bagian wilayah Belanda.
4. Cessi atau Penyerahan (cession) –
Pembelian Alaska
Pembelian Alaska oleh Amerika Serikat dari Kekaisaran
Rusia tahun 1867. Pembelian ini menambah luas wilayah Amerika
Serikat sebesar 586.412 mil persegi (1.518.800 km²). Rusia saat itu sedang
berada dalam posisi finansial yang sulit dan takut kehilangan Alaska Rusia tanpa
kompensasi (terutama terhadap Britania Raya,
musuh mereka dalam Perang Krim). Tsar Alexander
II memilih menjual Alaska. Rusia menawarkan
Alaska pada Amerika Serikat tahun 1859. Namun, Perang Saudara Amerika meletus.
Setelah Perang Saudara Amerika berakhir, Tsar menginstruksikan menteri
Rusia untuk Amerika Serikat Eduard
de Stoeckl untuk bernegosiasi
dengan Amerika Serikat. Negosiasi dimulai pada Maret 1867, dan Amerika setuju
untuk membeli Alaska dengan harga $4.74/km2, total $7.200.000.
Pembelian ini terbukti berguna bagi Amerika Serikat karena penemuan
kandungan minyak bumi yang besar di Alaska.
Sesungguhnya penyerahan wilayah menyusul
kekalahan dalam perang lebih lazim terjadi daripada aneksasi. Suatu penyerahan
melalui traktat adalah batal apabila pembentukan traktat itu dihasilkan dari
ancaman atau penggunaan kekerasan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip
hukum internasional. Negara yang menyerahkan tidak dapat mengurangi apa yang
telah ia serahkan.
5. Aneksasi atau Penaklukan (annexation) – Pendudukan Israel di Palestina
Pada tahun 1946, Transyordania memperoleh
kemerdekaan dari Mandat Britania atas Palestina. Agensi Yahudi untuk Israel mendeklarasikan
berdirinya Negara Israel sesuai
dengan rencana PBB yang diusulkan. Komite Tinggi
Arab tidak mengumumkan keadaan sendiri dan sebaliknya, bersama dengan Transyordania, Mesir, dan
anggota lain dari Liga Arab saat
itu, mulai tahun 1948 Perang Arab-Israel. Selama perang, Israel memperoleh
wilayah tambahan yang diharapkan menjadi bagian dari negara Arab di bawah
rencana PBB. Mesir
memperoleh kendali atas Gaza dan Transyordania mendapat kontrol atas West Bank.
Mesir awalnya
mendukung terciptanya Pemerintahan Seluruh Palestina, tapi itu
dibubarkan pada tahun 1959 dan Transyordania memasukkan Tepi
Barat dalam membentuk Yordania. Aneksasi itu diratifikasi pada 1950. Perang
Enam Hari 1967 berakhir
dengan ekspansi teritorial signifikan oleh Israel. Ekspansi
ini melibatkan seluruh Tepi Barat, yang tetap
di bawah pendudukan Israel, dan Jalur Gaza yang
diduduki sampai penarikan mundur Israel tahun 2005.
Faktanya,
Israel terus saja membangun permukiman Yahudi di Tepi Barat. Pembangunan
permukiman Yahudi yang terus berlanjut di daerah pendudukan akan membuat
pendudukan Israel atas wilayah Palestina menjadi permanen. Dalam laporan untuk
Sidang Umum PBB itu, Falk mengatakan, sebegitu luasnya pembangunan permukiman
Yahudi di Tepi Barat dan Jerusalem Timur sehingga membuat wilayah Palestina
secara de facto telah dianeksasi Israel. Asumsi dasar resolusi DK
PBB atas pendudukan wilayah Palestina oleh Israel tahun 1967 adalah sementara
dan reversible.
Kesimpulannya,
bukan hanya berdasar pada meluasnya pemukiman Yahudi di tempat pendudukan,
melainkan juga pengusiran warga Palestina dari Jerusalem Timur dan penggusuran
rumah-rumah mereka. PBB seharusnya mendukung sanksi ataupun boikot terhadap
Israel dengan tuduhan melakukan pelanggaran hukum internasional.**
Langganan:
Postingan (Atom)