1.
Bagaimana
Pilkada berdasarkan UU 32 tahun 2004?
UU No 32 tahun
20014 tidak memberikan suatu arah sasaran yang ingin dicapai dengan Pilkada
secara langsung, UU ini hanya banyak mengatur soal teknis penyelenggaraan
Pilkada. Tidak disebut latar belakang mengapa kepala daerah mesti di pilih
secara langsung oleh rakyat melalui pilkada. UU ini juga hanya sedikit
menyebutkan tentang calon kepala daerah. Sukses pilkada tidak hanya dapat
dilihat dari teknis tetapi dilihat juga dari hal yang dihasilkan yaitu kepala
daerah yang memiliki kapasistas dalam memimpin daerahnya.
2. Jelaskan Hubungan Kerja antara Pusat dan
daerah, Kewenangan serta koordinasinya?
#. Hubungan Kerja
Pusat dan Daerah adalah hubungan kerja antara aparatur pemerintah Pusat dengan
Pemerintah daerah bersama dengan seluruh aparaturnya. Pelaksanaan Hubungan
Kerja Pemerintah Pusat dan Daerah adalah sebagai berikut :
1)
Gubernur/Kepala Daerah bertanggungjawab kepada Presiden melalui Menteri Dalam
Negeri selaku pembantu Presiden dalam masalah-masalah pemerintahan daerah.
2) Menteri Dalam
Negeri memberikan pedoman/bimbingan, koordinasi dan pengawasan terhadap
pemerintahan di daerah.
#. Kewenangan
Pusat dan Daerah, dalam Pasal 10 UU No 32 Tahun 2004 diatur mengenai wewenang /
pembagian kerja antara pusat dan daerah. Kewenangan Pemerintah daerah adalah
menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan
tugas pembantuan. Sedangkan kewenangan pusat terdiri dari 6 Hal yaitu Politik
luar negeri, pertahanan, Keamanan, Yustisi, Moneter / Fiskal dan Agama.
3.
Apa
Alasan Pilkada DKI Jakarta tidak dipilih secara langsung?
Dalam ayat 2
Pasal 19 UU No 29 tahun 2007 disebutkan bahwa Walikota/Bupati di Kota/Kabupaten
administrasi di DKI diangkat oleh Gubernur atas pertimbangan DPRD Provinsi DKI
Jakarta dari pegawai negeri sipil yang memenuhi persyaratan. Alasan Pilkada DKI
Jakarta tidak dipilih langsung adalah dengan pertimbangan untuk menghemat biaya
pilkada, sekaligus menguatkan posisi gubernur sehingga mampu mengendalikan
bupati dan wali kota seperti diatur dalam konstitusi.
4. Apakah Kepada Daerah yang mencalonkan diri
sebagai Presiden / Wapre harus mundur dari jabatannya?
Jika kita
melihat UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil
Presiden, Pasal 6 mengatakan bahwa PEJABAT NEGARA yang dicalonkan sebagai calon
presiden atau calon wakil presiden harus mengundurkan diri dari jabatannya.
Sementara dalam Pasal 7 mengatakan bahwa Kepala Daerah yang dicalonkan Partai
Politik tidak perlu mengundurkan diri dari jabatannya, namun meminta untuk di
nonaktifkan sementara oleh Presiden (cuti), yang pengaturannya diatur pada Pasal
19 Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 2009. Namun semenjak munculnya UU No. 5
Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara sebagai pengganti dari UU No. 43 Tahun
1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian yang dalam nya disebut bahwa pejabat
pemerintah yang menclonkan diri sebagai presiden / wakil tidak perlu
mengundurkan diri, sehingga inlah yang menjadi dasar hukum para Kepala Daerah
yang mencalonkan diri menjadi Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden tidak
perlu mundur dari Jabatannya dan cukup meminta Ijin kepada Presiden untuk
mendapatkan ijin Non aktif Sementara (Cuti) dengan dasar Keputusan Presiden
(Keppres).
5. Menurut Anda, Apakah UU Nomor 32 tahun 2004
harus dipertahankan atau diganti?
Beberapa
substansi mungkin perlu diadakan perubahan terutama mengenai Pilkada yang
harusnya cukup di tingkat provinsi saja. Selain itu juga perlu memperketat
prosedur pemekaran daerah, selain itu hal yang perlu diperhatikan adalah
mengenai kewenanangan daerah yang harus dilakukan penyelarasan atau harmonisasi
dengan peraturan lain terutama mengenai sanksi pidana.**
**Oleh Regina Fadjri Andira, dikutip dari soal-soal UTS Hukum Administrasi Daerah (30 April 2014) Fakultas Hukum Universitas Pancasila.