Oleh: Edy Susilo, Fakhrul Ikhwanul Muslim, dan Regina Fadjri Andira[2]
Hubungan gerakan Islam dengan aktivitas
politik dapat diekspresikan dalam beragam bentuk dan aksi. Salah satu ekspresi
aktivitas politik dari gerakan Islam adalah usaha membentuk partai dan terlibat
di dalamnya, atau terlibat dalam parlemen dan institusi politik kenegaraan
lainnya. Partai yang dimaksud disini adalah partai-partai yang menjadikan Islam
sebagai ideologi partai dan/atau partai yang memiliki dukungan dari
organisasi-organsiasi atau kelompok Islam. Setelah lengsernya Soeharto pada 21
Mei 1998 sudah diadakan tiga kali Pemilu. Terdapat 20 partai bercorak Islam
dari 42 partai yang berkompetisi dalam Pemilu 1999. Ada 7 partai Islam yang
terdaftar dari 24 partai peserta dalam Pemilu 2004. Pada Pemilu 2009, ada 10
partai bercorak Islam dari 38 partai peserta.
Clifford Geertz (1960) menemukan
fenomena yang disebut politik aliran berdasarkan penelitiannya tentang hasil
Pemilu pertama di Indonesia yaitu Pemilu 1955. Dalam Pemilu tersebut, dari 10 partai Islam,
dua partai mendapat suara yang signifikan, yaitu NU (18,5 persen) dan Masyumi
(20,6 persen). Geertz membagi masyarakat Islam di Indonesia berdasarkan
ketaatan beragama menjadi santri dan abangan.
Dalam hal ini, agama menjadi faktor penting penyaluran suara dalam
Pemilu. Menurut asumsi politik aliran, kelompok abangan diidentifikasi sebagai
penganut Islam kurang taat cenderung memilih partai nasionalis atau sekuler.
Sedangkan kelompok santri diyakini akan menyalurkan suaranya pada partai Islam.[3]
Kebijakan penyederhanaan partai yang dilakukan Orde Baru pada 1973, ketika
partai-partai Islam dipaksa bergabung ke PPP dan partai-partai nasionalis dan
Kristen dipaksa bergabung ke PDI, adalah bukti bahwa penganut teori politik
aliran masih kuat.
Politik aliran setelah
berakhirnya rezim Orde Baru dijelaskan dalam studi Dwight King yang dikutip
Burhanudin Muhtadi (2012) bahwa politik aliran masih relevan dan terlihat dalam
Pemilu 1999. Studi King menunjukkan pembelahan sosial, yaitu pembelahan partai
santri dan partai abangan, masih berlanjut. Partai Islam mendapatkan suara di
daerah-daerah yang pada Pemilu 1955 merupakan basis partai-partai santri,
misalnya Masyumi. Sementara partai nasionalis seperti PDI Perjuangan
mendapatkan suara di daerah-daerah yang pada 1955 merupakan basis partai
abangan, misalnya PNI.[4]
Namun dalam hasil survey Liddle
dan Mujani tingkat ketaatan umat islam indonesia dalam menjalankan ibadah makin
tinggi. Kalau politik aliran berlaku seharusnya suara partai islam makin besar
pada pemilu pasca orde baru. Namun fakta perolehan partai islam pada pemilu
1999, 2004 dan 2009 mengalami penurunan jika dibandingkan dengan pemilu 1955.
Gabungan suara partai islam pada pemilu 1955 sebesar 43,7 persen. Pada pemilu
1999 total suara partai islam turun menjadi 36,8 persen. Pada pemilu 2004 suara
partai islam naik menjadi 38,1 persen. Pada pemilu 2009 yang lalu total suara
partai-partai islam kurang dari 30 persen saja.[5]
Jika kita mengamini teori politik
aliran, partai islam harus bisa mengakomodasi kepetingan dari golongan abangan
juga golongan santri. Pertama partai islam harus mampu meyakinkan golongan
abangan bahwa mereka memiliki cita-cita yang sama, yaitu mengangkat
kesejahteraan, meningkatkan kualitas pendidikan, dan menyuburkan kebebasan
hak-hak sipil. Kedua, selain meyakinkan golongan abangan, partai islam juga
harus meyakinkan golongan santri sebagai basis utamanya bahwa partai islam
tidak keluar dari cita-cita awal partai-partai islam tersebut berkompetisi di
dalam sistem demokrasi. Partai islam yang sekarang memiliki wakil di parlemen
harus terus berjuang meloloskan peraturan yang sesuai dan tidak bertentangan
dengan syariat islam, misalnya UU Pornografi, UU Zakat, UU Wakaf dan Perda –
Perda yang mengatur tentang Peredaran minuman keras dan pelacuran. Ketiga,
Tokoh – tokoh Partai Islam harus mampu menjaga diri dari hal – hal yang dapat
menjatuhkan citra partai islam, seperti terlibat dalam kasus pidana dan prilaku
amoral. Tiga hal diatas penting bagi partai islam untuk dapat meraih banyak
suara demi memenangkan pemilu.
Perlu diingat partai islam yang
berjuang dalam demokrasi tidak boleh keluar dari bingkai syar’i. Dr. Shalah
Shawi menjelaskan pokok-pokok yang harus dipegang teguh oleh aktivis islam yang
bergerak dibidang politik. Pertama argumentasi yang mutlak adalah syariat
bukannya yang lain. Kemudian demokrasi yang didengungkan orang-orang sekuler
bukan merupakan pemecahan final. Kemudian supremasi hukum dan komitmen
menghormati undang-undang harus dipahami dalam bingkai syariat, pembenaran
terhadap perundangan yang bertolak belakang dari hukum Allah adalah syirik.
Terakhir tidak membatasi dakwah islam dalam lini politik saja.[6]
Tragedi mesir 2013 mulai dari
kudeta militer sampai pembantaian pendukung presiden yang terpilih secara
demokratis memberikan pelajaran berharga bagi aktivis islam yang bergerak
dibidang politik. Ketika hasil pemilu demokratis di Mesir menghasilkan
kemenangan partai yang didirikan oleh aktivis islam dengan memperoleh suara
hampir 50 persen menimbulkan persepsi aktivis islam disana meremehkan kelompok
lain dan tidak mau untuk berkolaborasi dengan kelompok lain. Hal ini
menimbulkan perasaan terpinggirkan dikalangan sekuler sehingga pada akhirnya
menjadi pemikiran dari pada menunggu pemilu pasti kalah maka lebih baik membuat
kekacauan dengan memrovokasikan militer untuk melakukan kudeta.
Dalam hal demikian aktivis
politik islam di turki lebih berhasil mengelola kemenangan. Partai islam di
turki yaitu AKP (Adalet ve Kalkinma Partisi
/ Partai Keadilan dan Pembangunan) selain karena sukses memenangkan pemilu 3
kali berturut-turut dengan suara signifikan (2002: 34 persen, 2007: 46 persen,
dan 2011: 50 persen) juga karena kemampuan menghadapi goncangan politik dari
kelompok lain. Yang menarik dari turki adalah kemampuan mendamaikan islam dan
sekulerisme. AKP tidak memandang sekulerisme sebagai lawan dari islam, namun
mereka mendefinisikan ulang sekulerisme dengan versi mereka sendiri sehingga
dapat diterima. Sekulerisme tidak dianggap sebagai suatu ancaman bagi hak dasar
dan kebebasan manusia termasuk didalamnya kebebasan berkeyakinan dan
menjalankan praktek agama. Menurut AKP kesalahan fatal dalam penerapan
sekulerisme adalah saat gagasan tersebut disalah gunakan untuk kepentingan politik.[7]
Pilar lain dari sukses AKP mengelola kemenangan adalah kemampuan melakukan
pendekatan bertahap dalam mempengaruhi kebijakan dalam negeri dan kemampuan
untuk membangun keseimbangan dalam kebijakan luar negeri. Faktor terpenting
lainya yang menjadi kunci sukses AKP adalah peran jejaring lembaga-lembaga
kemanusiaan yang dimiliki kelompok islam. AKP memiliki 2 lembaga amal yang
menjadi sayap sosial AKP sehingga mendapatkan dukungan luas kosntituen dan
memiliki peran penting dalam memperkuat peran regional turki.
Kesimpulan
Jika ingin memenangkan Pemilu,
partai-partai Islam di Indonesia harus memikirkan strategi merangkul semua
kelompok yang ada di Indonesia. Ada hal penting yang harus diingat, bahwa
tujuan partai Islam berkompetisi dalam demokrasi bukan hanya sekedar meraih
kekuasaan namun juga memberikan nuansa Islami dalam kehidupan bernegara. Oleh
karena itu, partai-partai Islam harus tetap berada dalam bingkai syar’i. Selain
itu, tokoh-tokoh partai Islam juga harus memberikan keteladanan dengan berusaha
terhindar dari perbuatan-perbuatan tidak terpuji yang dapat menjatuhkan citra
partai dan citra Islam sendiri. Apabila semua usaha terbaik sudah dilakukan,
bukan mustahil partai Islam meraih kemenangan dalam Pemilu. Ada hikmah yang
dapat dipetik dari kemenangan-kemenangan partai Islam di negara lain semisal
AKP di Turki sehingga partai Islam di Indonesia mampu mengelola negara ketika
meraih kemenangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar