Sabtu, 26 April 2014

Masa Depan Partai Islam Di Indonesia




Oleh: Edy Susilo, Fakhrul Ikhwanul Muslim, dan Regina Fadjri Andira[2]

Hubungan gerakan Islam dengan aktivitas politik dapat diekspresikan dalam beragam bentuk dan aksi. Salah satu ekspresi aktivitas politik dari gerakan Islam adalah usaha membentuk partai dan terlibat di dalamnya, atau terlibat dalam parlemen dan institusi politik kenegaraan lainnya. Partai yang dimaksud disini adalah partai-partai yang menjadikan Islam sebagai ideologi partai dan/atau partai yang memiliki dukungan dari organisasi-organsiasi atau kelompok Islam. Setelah lengsernya Soeharto pada 21 Mei 1998 sudah diadakan tiga kali Pemilu. Terdapat 20 partai bercorak Islam dari 42 partai yang berkompetisi dalam Pemilu 1999. Ada 7 partai Islam yang terdaftar dari 24 partai peserta dalam Pemilu 2004. Pada Pemilu 2009, ada 10 partai bercorak Islam dari 38 partai peserta.
Clifford Geertz (1960) menemukan fenomena yang disebut politik aliran berdasarkan penelitiannya tentang hasil Pemilu pertama di Indonesia yaitu Pemilu 1955.  Dalam Pemilu tersebut, dari 10 partai Islam, dua partai mendapat suara yang signifikan, yaitu NU (18,5 persen) dan Masyumi (20,6 persen). Geertz membagi masyarakat Islam di Indonesia berdasarkan ketaatan beragama menjadi santri dan abangan.  Dalam hal ini, agama menjadi faktor penting penyaluran suara dalam Pemilu. Menurut asumsi politik aliran, kelompok abangan diidentifikasi sebagai penganut Islam kurang taat cenderung memilih partai nasionalis atau sekuler. Sedangkan kelompok santri diyakini akan menyalurkan suaranya pada partai Islam.[3] Kebijakan penyederhanaan partai yang dilakukan Orde Baru pada 1973, ketika partai-partai Islam dipaksa bergabung ke PPP dan partai-partai nasionalis dan Kristen dipaksa bergabung ke PDI, adalah bukti bahwa penganut teori politik aliran masih kuat.
Politik aliran setelah berakhirnya rezim Orde Baru dijelaskan dalam studi Dwight King yang dikutip Burhanudin Muhtadi (2012) bahwa politik aliran masih relevan dan terlihat dalam Pemilu 1999. Studi King menunjukkan pembelahan sosial, yaitu pembelahan partai santri dan partai abangan, masih berlanjut. Partai Islam mendapatkan suara di daerah-daerah yang pada Pemilu 1955 merupakan basis partai-partai santri, misalnya Masyumi. Sementara partai nasionalis seperti PDI Perjuangan mendapatkan suara di daerah-daerah yang pada 1955 merupakan basis partai abangan, misalnya PNI.[4]

Namun dalam hasil survey Liddle dan Mujani tingkat ketaatan umat islam indonesia dalam menjalankan ibadah makin tinggi. Kalau politik aliran berlaku seharusnya suara partai islam makin besar pada pemilu pasca orde baru. Namun fakta perolehan partai islam pada pemilu 1999, 2004 dan 2009 mengalami penurunan jika dibandingkan dengan pemilu 1955. Gabungan suara partai islam pada pemilu 1955 sebesar 43,7 persen. Pada pemilu 1999 total suara partai islam turun menjadi 36,8 persen. Pada pemilu 2004 suara partai islam naik menjadi 38,1 persen. Pada pemilu 2009 yang lalu total suara partai-partai islam kurang dari 30 persen saja.[5]

Jika kita mengamini teori politik aliran, partai islam harus bisa mengakomodasi kepetingan dari golongan abangan juga golongan santri. Pertama partai islam harus mampu meyakinkan golongan abangan bahwa mereka memiliki cita-cita yang sama, yaitu mengangkat kesejahteraan, meningkatkan kualitas pendidikan, dan menyuburkan kebebasan hak-hak sipil. Kedua, selain meyakinkan golongan abangan, partai islam juga harus meyakinkan golongan santri sebagai basis utamanya bahwa partai islam tidak keluar dari cita-cita awal partai-partai islam tersebut berkompetisi di dalam sistem demokrasi. Partai islam yang sekarang memiliki wakil di parlemen harus terus berjuang meloloskan peraturan yang sesuai dan tidak bertentangan dengan syariat islam, misalnya UU Pornografi, UU Zakat, UU Wakaf dan Perda – Perda yang mengatur tentang Peredaran minuman keras dan pelacuran. Ketiga, Tokoh – tokoh Partai Islam harus mampu menjaga diri dari hal – hal yang dapat menjatuhkan citra partai islam, seperti terlibat dalam kasus pidana dan prilaku amoral. Tiga hal diatas penting bagi partai islam untuk dapat meraih banyak suara demi memenangkan pemilu.

Perlu diingat partai islam yang berjuang dalam demokrasi tidak boleh keluar dari bingkai syar’i. Dr. Shalah Shawi menjelaskan pokok-pokok yang harus dipegang teguh oleh aktivis islam yang bergerak dibidang politik. Pertama argumentasi yang mutlak adalah syariat bukannya yang lain. Kemudian demokrasi yang didengungkan orang-orang sekuler bukan merupakan pemecahan final. Kemudian supremasi hukum dan komitmen menghormati undang-undang harus dipahami dalam bingkai syariat, pembenaran terhadap perundangan yang bertolak belakang dari hukum Allah adalah syirik. Terakhir tidak membatasi dakwah islam dalam lini politik saja.[6]

Tragedi mesir 2013 mulai dari kudeta militer sampai pembantaian pendukung presiden yang terpilih secara demokratis memberikan pelajaran berharga bagi aktivis islam yang bergerak dibidang politik. Ketika hasil pemilu demokratis di Mesir menghasilkan kemenangan partai yang didirikan oleh aktivis islam dengan memperoleh suara hampir 50 persen menimbulkan persepsi aktivis islam disana meremehkan kelompok lain dan tidak mau untuk berkolaborasi dengan kelompok lain. Hal ini menimbulkan perasaan terpinggirkan dikalangan sekuler sehingga pada akhirnya menjadi pemikiran dari pada menunggu pemilu pasti kalah maka lebih baik membuat kekacauan dengan memrovokasikan militer untuk melakukan kudeta. 

Dalam hal demikian aktivis politik islam di turki lebih berhasil mengelola kemenangan. Partai islam di turki yaitu AKP (Adalet ve Kalkinma Partisi / Partai Keadilan dan Pembangunan) selain karena sukses memenangkan pemilu 3 kali berturut-turut dengan suara signifikan (2002: 34 persen, 2007: 46 persen, dan 2011: 50 persen) juga karena kemampuan menghadapi goncangan politik dari kelompok lain. Yang menarik dari turki adalah kemampuan mendamaikan islam dan sekulerisme. AKP tidak memandang sekulerisme sebagai lawan dari islam, namun mereka mendefinisikan ulang sekulerisme dengan versi mereka sendiri sehingga dapat diterima. Sekulerisme tidak dianggap sebagai suatu ancaman bagi hak dasar dan kebebasan manusia termasuk didalamnya kebebasan berkeyakinan dan menjalankan praktek agama. Menurut AKP kesalahan fatal dalam penerapan sekulerisme adalah saat gagasan tersebut disalah gunakan untuk kepentingan politik.[7] Pilar lain dari sukses AKP mengelola kemenangan adalah kemampuan melakukan pendekatan bertahap dalam mempengaruhi kebijakan dalam negeri dan kemampuan untuk membangun keseimbangan dalam kebijakan luar negeri. Faktor terpenting lainya yang menjadi kunci sukses AKP adalah peran jejaring lembaga-lembaga kemanusiaan yang dimiliki kelompok islam. AKP memiliki 2 lembaga amal yang menjadi sayap sosial AKP sehingga mendapatkan dukungan luas kosntituen dan memiliki peran penting dalam memperkuat peran regional turki.

Kesimpulan
Jika ingin memenangkan Pemilu, partai-partai Islam di Indonesia harus memikirkan strategi merangkul semua kelompok yang ada di Indonesia. Ada hal penting yang harus diingat, bahwa tujuan partai Islam berkompetisi dalam demokrasi bukan hanya sekedar meraih kekuasaan namun juga memberikan nuansa Islami dalam kehidupan bernegara. Oleh karena itu, partai-partai Islam harus tetap berada dalam bingkai syar’i. Selain itu, tokoh-tokoh partai Islam juga harus memberikan keteladanan dengan berusaha terhindar dari perbuatan-perbuatan tidak terpuji yang dapat menjatuhkan citra partai dan citra Islam sendiri. Apabila semua usaha terbaik sudah dilakukan, bukan mustahil partai Islam meraih kemenangan dalam Pemilu. Ada hikmah yang dapat dipetik dari kemenangan-kemenangan partai Islam di negara lain semisal AKP di Turki sehingga partai Islam di Indonesia mampu mengelola negara ketika meraih kemenangan.


[1] Ditulis untuk mengikuti seleksi lomba debat Islamic Book Fair 2014
[2] Para penulis adalah mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pancasila
[3] Geertz, Clifford. The Religion of Java. Free Press. New York. 1960
[4] Muhatadi, Burhanuddin. Dilema PKS: Suara dan Syariah. KPG. Jakarta. 2012
[5] ibid
[6] Shawi, Shalah. Ats Tsawabit wal Mutaghayyirat. Era Adicitra Intermedia. Solo. 2011
[7] Dzakirin, Ahmad. Kebangkitan Pos-Islamisme. Era Adicitra Intermedia. Solo. 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar