Kamis, 12 November 2015

Mempersoalkan Penegakan Hukum Lingkungan Hidup atas Pembakaran Hutan oleh Perusahaan Perkebunan


Oleh : Regina Fadjri Andira (NPM. 3012210345)[1]
(Teks ini telah mendapatkan penghargaan sebagai Juara I dalam acara Lomba Menulis Opini Hukum dengan Tema “Keadaan Hukum Di Indonesia Saat Ini” dalam acara Pancasila Law Fair, Fakultas Hukum Universitas Pancasila 2015)

Lingkungan Hidup yang baik dan sehat merupakan hak asasi dan hak konsitusional bagi setiap warga negara Indonesia sebagaimana diatur dalam Perubahan Undang Undang Negara Republik Indonesia tahun 1945 pasal 28H (1) Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan[2]. Oleh karena itu, negara dalam hal ini pemerintah dan seluruh pihak yang berkepentingan wajib untuk melaksanakan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan agar lingkungan hidup Indonesia dapat tetap menjadi sumber dan penunjang hidup bagi seluruh rakyat Indonesia[3].
Sebagai negara yang sedang berkembang, Indonesia saat ini sedang melaksanakan pembangunan di segala bidang. Pembangunan disini merupakan upaya bangsa Indonesia untuk meningkatkan taraf hidup dan meningkatkan kebutuhannya dengan memanfaatkan segala sumber daya yang dimilikinya[4]. Pelaksanaan pembangunan dan upaya peningkatan kebutuhan hidup banyak memberikan dampak bagi lingkungan hidup selain dampak positif, dampak negatif pun tidak dapat dihindari.
Salah satu sektor yang terlibat dalam upaya pembangunan dan pemenuhan kebutuhan hidup adalah perusahaan yang bergerak disektor perkebunan terutama perkebunan kelapa sawit menjadi faktor utama pengelolaan lingkungan hidup secara khusus dalam hal konservasi hutan karena untuk melaksanakan kegiatannya, perusahaan tersebut diberikan hak oleh negara untuk membuka lahan di wilayah hutan Indonesia. 
   Dalam satu bulan terakhir, masyarakat Indonesia disuguhkan dengan berita – berita mengenai pembakaran hutan yang dilakukan oleh perusahaan perkebunan untuk membuka lahan perkebunan baru. Setidaknya menurut Jenderal Badrodin Haiti (Kepala Kepolisian Republik Indonesia) pihaknya telah menetapkan 7 perusahaan sebagai tersangka pembakaran hutan diantaranya PT RPP di Sumatra Selatan, PT BMH di Sumsel, PT RPS di Sumsel, PT LIH di Riau, PT GAP di Kalimantan Tengah, PT MBA di Kalimantan Tengah, dan PT ASP di Kalteng[5].
Hal seperti pembakaran hutan inilah yang akhirnya membawa dampak negatif dari pengelolaan lingkungan hidup dalam upaya pemenuhan kebutuhan hidup manusia. Selain karena kebutuhan perkebunan, tujuan pembakaran hutan yang dilakukan oleh perusahaan juga memiliki faktor lain yaitu faktor ekonomis untuk meraup keuntungan perusahaan.
Hutan yang akan menjadi lahan perkebunan apabila sudah dibersihkan dengan tebas dan tebang ditawarkan dengan harga Rp 8.600.000,- / hektar. Namun, lahan dalam kondisi 'siap tanam' atau sudah dibakar malah akan meningkat harganya, yaitu Rp 11.200.000,- / hektar. Lalu tiga tahun kemudian, setelah lahan yang sudah ditanami siap panen, maka perkebunan yang sudah jadi itu bisa dijual dengan harga Rp 40.000.000,- / hektar. Keuntungan – keuntungan inilah yang menjadi latar belakang pembakaran hutan[6].
Akibat dari pembakaran hutan, beberapa daerah di Indonesia diselimuti kabut asap yang sangat mengganggu serta menghambat segala aktivitas sehari – hari. Di Pekan Baru, Riau sekolah diliburkan sampai waktu yang tidak ditentukan[7], salah satu hak asasi yaitu hak mendapatkan pendidikan yang layak menjadi terganggu. Belum lagi beberapa perusahaan di wilayah Kalimantan, Riau, Jambi, Palembang pun lumpuh aktivitasnya akibat kabut asap.
Dampak terparah dari kabut asap yang dihasilkan dari pembakaran hutan oleh perusahaan perkebunan adalah menyebabkan penyakit gangguan pernafasan bahkan kematian. Dari data BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) akibat dari kabut asap setidaknya telah terdapat 5 korban jiwa dan puluhan orang mengalami gangguan pernafasan[8].  
Jika pembakaran hutan terus dibiarkan terjadi secara berkelanjutan maka bisa dikatakan pemerintah telah gagal mencapai tujuan negara Republik Indonesia yaitu memajukan kesejahteraan umum seperti yang tertuang dalam Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, Pembukaan Alinea ke empat. Pemerintah harus melaksanakan penegakan hukumnya serta upaya penyelesaian yang efektif.
Solusi Penyelesaian dan Upaya Penegakan Hukum
  Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya norma – norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara[9]. Penegakan hukum yang dimaksud bukan hanya bersifat represif saja atau ada yang berpendapat bahwa penegakan hukum hanya berkaitan dengan hukum pidana saja, “Apabila terbukti salah, melanggar undang - undang maka ia harus dipidana sesuai ketentuan hukum positif tidak boleh ada unsur lain di dalam hukum” seperti pemikiran Hans Kelsen “The Pure Theory Of Law”, hukum tegak berdiri sendiri dan terlepas dari unsur dan norma lainnya serta hanya dengan hukum lah keadilan dan kebenaran dapat ditegakan (Aliran Positifisme).
Contoh paling nyata dalam penegakan hukum yang hanya bersifat represif saja ialah sebagai berikut : Pemerintah secara tegas akan mencabut izin usaha perusahaan perkebunan yang terbukti melakukan pembakaran hutan. Namun menurut hemat kami, hal ini tidak efektif dan ternyata malah menambah masalah baru. Pertama, setelah izin perusahaan tersebut dicabut apakah pembakaran hutan akan serta merta berhenti juga, tentu tidak karena pasti ada faktor lain yang menyebabkan pembakaran hutan akan terus berlanjut. Kedua, berapa banyak masyarakat yang bekerja diperusahaan tersebut yang akan terancam menjadi pengangguran karena perusahaan tempatnya bekerja dicabut izin usahanya oleh pemerintah. Pemerintah yang seharusnya menyediakan lapangan kerja justru malah mencetak pengangguran baru. Untuk itulah hukum tidak dapat tegak berdiri sendiri khususnya hukum dibidang lingkungan.
Penegakan hukum memiliki arti yang sangat luas meliputi segi preventif dan represif. Penegakan hukum dari segi preventif lebih cocok dengan kondisi negara Indonesia yang unsur pemerintahnya turut aktif dalam meningkatkan kedasaran hukum di masyarakat[10].
Tujuan dari upaya Preventif dalam rangka meningkatkan kesadaran hukum perlu dilakukan. Dengan memberikan pengertian bahwa pembangunan harus berwawasan lingkungan agar dapat meningkatkan mutu hidup, dan berkesinambungan serta tidak mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya.
Upaya preventif dinilai lebih efektif dibandingkan pendapat sebagian kelompok yang menuntut revisi undang – undang lingkungan hidup dengan memasukan sanksi lebih tegas lagi. karena dari segi prosespun untuk menghasilkan suatu undang – undang dibutuhkan proses yang panjang dan rumit.
Salah satu upaya preventif yang dapat dilakukan Pemerintah ialah dengan mengadakan dialog atau diskusi dengan perusahaan dan masyarakat untuk membicarakan mengenai masalah – masalah apa saja yang dihadapi perusahaan perkebunan dan masyarakat terutama terkait dengan pembukaan lahan. Memberikan solusi nyata bagaimana agar perusahaan tetap berjalan namun lingkungan hidup tetap terjaga tanpa harus membakar hutan, melihat faktor – faktor utama yang menjadi penyebab pembakaran hutan, selain itu memberikan layanan administrasi dan perizinan yang tidak berbelit – belit agar tidak menimbulkan kesan bahwa mengurus izin ke pemerintah hanya menghambat proses produksi saja, dan memberikan jaminan – jaminan serta kepastian hukum apabila terjadi sengketa lahan perkebunan. 

Mencegah lebih baik dari pada mengobati, semboyan yang cocok untuk permasalahan ini. Setelah upaya preventif telah dilakukan, barulah upaya represif sesuai dengan ketentuan undang – undang dapat diberlakukan secara efektif dan tegas.

Lingkungan hidup harus dikelola dengan baik. Pemerintah, masyarakat, dan pihak lainnya yang terkait sama – sama memiliki peran serta tanggungjawab terhadap keberlangsungannya. Pemerintah memastikan negara dapat mencapai tujuan menyejahterakan rakyat dan berhasil mencapai cita – citanya, serta memberikan kepastian hukum. masyarakat pun turut serta membantu pemerintah dengan sadar akan hukum dan norma lingkungan agar tercapainya keselarasan hubungan manusia dan lingkungan hidup, terkendalinya pemanfaatan sumber daya secara bijak dan dapat terlaksanya pengelolaan lingkungan hidup untuk generasi sekarang dan mendatang.**

Keterangan Foto : Lomba menulis Opini Hukum dalam acara Pancasila Law Fair 2015 diselenggarakan oleh SEMA FH - KMUP periode 2014 - 2015. Piala juara di serahkan oleh Bpk. Endra Wijaya, S.H., M.H selaku Wakil Dekan III (WADEK III) FHUP



[1] Nama Penulis, Mahasiswa Universitas Pancasila angkatan 2012.
[2] Pustaka Mahardika, 3 Undang – Undang Dasar Republik Indonesia, Hal 20.
[3] Konsiderans Undang – Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
[4] R.M Gatot P Soemartono, Hukum Lingkungan Indonesia (Jakarta : Sinar Grafika, 1996) PDF. (Sebagaimana dikutip dalam Artikel Penegakan hukum lingkungan hidup di Indonesia sesuai Undang – Undang Nomor 32 tahun 2009, Wahyu Ardiansyah FH-Undip)
[5] http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015/09/150916_indonesia_tersangka_asap
[6] Penelitian Oleh Herry Purnomo berjudul 'Ekonomi Politik Kebakaran Hutan dan Lahan' dari peneliti Center for International Forestry Research (CIFOR) – WWF/PDF
[7] http://news.liputan6.com/read/2311336/kabut-asap-masih-pekat-semua-sekolah-di-pekanbaru-libur
[8] m.voaindonesia.com/a/bnpb-tentang-kabut-asap-/.html
[9] Jimly Asshidiqie, “Pembangunan Hukum dan Penegakan Hukum Di Indonesia”. Catatan Seminar “Menyoal Moral Penegak Hukum”.
[10] Andi Hamzah, Penegakan Hukum Lingkungan (Sebagaimana dikutip dalam Artikel Penegakan hukum lingkungan hidup di Indonesia sesuai Undang – Undang Nomor 32 tahun 2009, Wahyu Ardiansyah FH-Undip)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar