Oleh
: Regina Fadjri Andira (NPM. 3012210345)[1]
(Teks ini telah mendapatkan penghargaan sebagai Juara I dalam acara Lomba Menulis Opini Hukum
dengan Tema “Keadaan Hukum Di Indonesia Saat Ini” dalam acara Pancasila Law
Fair, Fakultas Hukum Universitas Pancasila 2015)
Lingkungan Hidup yang baik dan sehat
merupakan hak asasi dan hak konsitusional bagi setiap warga negara Indonesia
sebagaimana diatur dalam Perubahan Undang Undang Negara Republik Indonesia
tahun 1945 pasal 28H (1) Setiap orang
berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan
lingkungan hidup baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan[2]. Oleh karena itu, negara
dalam hal ini pemerintah dan seluruh pihak yang berkepentingan wajib untuk
melaksanakan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dalam pelaksanaan
pembangunan berkelanjutan agar lingkungan hidup Indonesia dapat tetap menjadi
sumber dan penunjang hidup bagi seluruh rakyat Indonesia[3].
Sebagai negara yang sedang berkembang,
Indonesia saat ini sedang melaksanakan pembangunan di segala bidang.
Pembangunan disini merupakan upaya bangsa Indonesia untuk meningkatkan taraf
hidup dan meningkatkan kebutuhannya dengan memanfaatkan segala sumber daya yang
dimilikinya[4].
Pelaksanaan pembangunan dan upaya peningkatan kebutuhan hidup banyak memberikan
dampak bagi lingkungan hidup selain dampak positif, dampak negatif pun tidak
dapat dihindari.
Salah satu sektor yang terlibat dalam
upaya pembangunan dan pemenuhan kebutuhan hidup adalah perusahaan yang bergerak
disektor perkebunan terutama perkebunan kelapa sawit menjadi faktor utama
pengelolaan lingkungan hidup secara khusus dalam hal konservasi hutan karena
untuk melaksanakan kegiatannya, perusahaan tersebut diberikan hak oleh negara
untuk membuka lahan di wilayah hutan Indonesia.
Dalam
satu bulan terakhir, masyarakat Indonesia disuguhkan dengan berita – berita
mengenai pembakaran hutan yang dilakukan oleh perusahaan perkebunan untuk membuka
lahan perkebunan baru. Setidaknya menurut Jenderal Badrodin Haiti (Kepala
Kepolisian Republik Indonesia) pihaknya telah menetapkan 7 perusahaan sebagai
tersangka pembakaran hutan diantaranya PT RPP di Sumatra Selatan, PT BMH di
Sumsel, PT RPS di Sumsel, PT LIH di Riau, PT GAP di Kalimantan Tengah, PT MBA
di Kalimantan Tengah, dan PT ASP di Kalteng[5].
Hal seperti pembakaran hutan inilah yang
akhirnya membawa dampak negatif dari pengelolaan lingkungan hidup dalam upaya
pemenuhan kebutuhan hidup manusia. Selain karena kebutuhan perkebunan, tujuan pembakaran
hutan yang dilakukan oleh perusahaan juga memiliki faktor lain yaitu faktor ekonomis
untuk meraup keuntungan perusahaan.
Hutan yang akan menjadi lahan perkebunan
apabila sudah dibersihkan dengan tebas dan tebang ditawarkan dengan harga Rp
8.600.000,- / hektar. Namun, lahan dalam kondisi 'siap tanam' atau sudah
dibakar malah akan meningkat harganya, yaitu Rp 11.200.000,- / hektar. Lalu
tiga tahun kemudian, setelah lahan yang sudah ditanami siap panen, maka
perkebunan yang sudah jadi itu bisa dijual dengan harga Rp 40.000.000,- / hektar.
Keuntungan – keuntungan inilah yang menjadi latar belakang pembakaran hutan[6].
Akibat dari pembakaran hutan, beberapa
daerah di Indonesia diselimuti kabut asap yang sangat mengganggu serta
menghambat segala aktivitas sehari – hari. Di Pekan Baru, Riau sekolah
diliburkan sampai waktu yang tidak ditentukan[7], salah satu hak asasi
yaitu hak mendapatkan pendidikan yang layak menjadi terganggu. Belum lagi
beberapa perusahaan di wilayah Kalimantan, Riau, Jambi, Palembang pun lumpuh
aktivitasnya akibat kabut asap.
Dampak terparah dari kabut asap yang
dihasilkan dari pembakaran hutan oleh perusahaan perkebunan adalah menyebabkan
penyakit gangguan pernafasan bahkan kematian. Dari data BNPB (Badan Nasional
Penanggulangan Bencana) akibat dari kabut asap setidaknya telah terdapat 5
korban jiwa dan puluhan orang mengalami gangguan pernafasan[8].
Jika pembakaran hutan terus dibiarkan terjadi
secara berkelanjutan maka bisa dikatakan pemerintah telah gagal mencapai tujuan
negara Republik Indonesia yaitu memajukan kesejahteraan umum seperti yang
tertuang dalam Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945,
Pembukaan Alinea ke empat. Pemerintah harus melaksanakan penegakan hukumnya
serta upaya penyelesaian yang efektif.
Solusi Penyelesaian dan
Upaya Penegakan Hukum
Penegakan hukum adalah
proses dilakukannya upaya untuk tegaknya norma – norma hukum secara nyata
sebagai pedoman perilaku dalam hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan
bernegara[9]. Penegakan hukum yang
dimaksud bukan hanya bersifat represif saja atau ada yang berpendapat bahwa
penegakan hukum hanya berkaitan dengan hukum pidana saja, “Apabila terbukti
salah, melanggar undang - undang maka ia harus dipidana sesuai ketentuan hukum
positif tidak boleh ada unsur lain di dalam hukum” seperti pemikiran Hans
Kelsen “The Pure Theory Of Law”,
hukum tegak berdiri sendiri dan terlepas dari unsur dan norma lainnya serta
hanya dengan hukum lah keadilan dan kebenaran dapat ditegakan (Aliran
Positifisme).
Contoh paling nyata dalam penegakan hukum
yang hanya bersifat represif saja ialah sebagai berikut : Pemerintah secara
tegas akan mencabut izin usaha perusahaan perkebunan yang terbukti melakukan
pembakaran hutan. Namun menurut hemat kami, hal ini tidak efektif dan ternyata
malah menambah masalah baru. Pertama,
setelah izin perusahaan tersebut dicabut apakah pembakaran hutan akan serta
merta berhenti juga, tentu tidak karena pasti ada faktor lain yang menyebabkan
pembakaran hutan akan terus berlanjut. Kedua,
berapa banyak masyarakat yang bekerja diperusahaan tersebut yang akan terancam
menjadi pengangguran karena perusahaan tempatnya bekerja dicabut izin usahanya
oleh pemerintah. Pemerintah yang seharusnya menyediakan lapangan kerja justru
malah mencetak pengangguran baru. Untuk itulah hukum tidak dapat tegak berdiri
sendiri khususnya hukum dibidang lingkungan.
Penegakan hukum memiliki arti yang sangat
luas meliputi segi preventif dan represif. Penegakan hukum dari segi preventif lebih
cocok dengan kondisi negara Indonesia yang unsur pemerintahnya turut aktif
dalam meningkatkan kedasaran hukum di masyarakat[10].
Tujuan dari upaya Preventif dalam rangka meningkatkan
kesadaran hukum perlu dilakukan. Dengan memberikan pengertian bahwa pembangunan
harus berwawasan lingkungan agar dapat meningkatkan mutu hidup, dan
berkesinambungan serta tidak mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk
memenuhi kebutuhannya.
Upaya preventif dinilai lebih efektif
dibandingkan pendapat sebagian kelompok yang menuntut revisi undang – undang
lingkungan hidup dengan memasukan sanksi lebih tegas lagi. karena dari segi
prosespun untuk menghasilkan suatu undang – undang dibutuhkan proses yang
panjang dan rumit.
Salah
satu upaya preventif yang dapat dilakukan Pemerintah ialah dengan mengadakan
dialog atau diskusi dengan perusahaan dan masyarakat untuk membicarakan mengenai
masalah – masalah apa saja yang dihadapi perusahaan perkebunan dan masyarakat
terutama terkait dengan pembukaan lahan. Memberikan solusi nyata bagaimana agar
perusahaan tetap berjalan namun lingkungan hidup tetap terjaga tanpa harus
membakar hutan, melihat faktor – faktor utama yang menjadi penyebab pembakaran
hutan, selain itu memberikan layanan administrasi dan perizinan yang tidak
berbelit – belit agar tidak menimbulkan kesan bahwa mengurus izin ke pemerintah
hanya menghambat proses produksi saja, dan memberikan jaminan – jaminan serta
kepastian hukum apabila terjadi sengketa lahan perkebunan.
Mencegah
lebih baik dari pada mengobati, semboyan yang cocok untuk permasalahan ini.
Setelah upaya preventif telah dilakukan, barulah upaya represif sesuai dengan
ketentuan undang – undang dapat diberlakukan secara efektif dan tegas.
Lingkungan
hidup harus dikelola dengan baik. Pemerintah, masyarakat, dan pihak lainnya
yang terkait sama – sama memiliki peran serta tanggungjawab terhadap
keberlangsungannya. Pemerintah memastikan negara dapat mencapai tujuan menyejahterakan
rakyat dan berhasil mencapai cita – citanya, serta memberikan kepastian hukum.
masyarakat pun turut serta membantu pemerintah dengan sadar akan hukum dan norma
lingkungan agar tercapainya keselarasan hubungan manusia dan lingkungan hidup,
terkendalinya pemanfaatan sumber daya secara bijak dan dapat terlaksanya
pengelolaan lingkungan hidup untuk generasi sekarang dan mendatang.**
Keterangan Foto : Lomba menulis Opini Hukum dalam acara Pancasila Law Fair 2015 diselenggarakan oleh SEMA FH - KMUP periode 2014 - 2015. Piala juara di serahkan oleh Bpk. Endra Wijaya, S.H., M.H selaku Wakil Dekan III (WADEK III) FHUP
[1] Nama Penulis, Mahasiswa
Universitas Pancasila angkatan 2012.
[2] Pustaka Mahardika, 3 Undang –
Undang Dasar Republik Indonesia, Hal 20.
[3] Konsiderans Undang – Undang Nomor
32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
[4] R.M Gatot P Soemartono, Hukum
Lingkungan Indonesia (Jakarta : Sinar Grafika, 1996) PDF. (Sebagaimana dikutip
dalam Artikel Penegakan hukum lingkungan hidup di Indonesia sesuai Undang –
Undang Nomor 32 tahun 2009, Wahyu Ardiansyah FH-Undip)
[5]
http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015/09/150916_indonesia_tersangka_asap
[6]
Penelitian Oleh Herry Purnomo berjudul 'Ekonomi Politik Kebakaran Hutan dan
Lahan' dari peneliti Center for International Forestry Research (CIFOR) –
WWF/PDF
[8]
m.voaindonesia.com/a/bnpb-tentang-kabut-asap-/.html
[9] Jimly Asshidiqie, “Pembangunan
Hukum dan Penegakan Hukum Di Indonesia”. Catatan Seminar “Menyoal Moral Penegak
Hukum”.
[10] Andi Hamzah, Penegakan Hukum
Lingkungan (Sebagaimana dikutip dalam Artikel Penegakan hukum lingkungan hidup
di Indonesia sesuai Undang – Undang Nomor 32 tahun 2009, Wahyu Ardiansyah
FH-Undip)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar